INGKAR AS-SUNNAH

 

A.     Latar Belakang

Dalam Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki kedudukan yang saling melengkapi sebagai sumber hukum utama. Al-Qur’an memberikan dasar-dasar ajaran, sedangkan As-Sunnah berperan memperjelas, merinci, dan mempraktikkan isi Al-Qur’an melalui perkataan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah . Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah muncul pemikiran yang menolak sunnah sebagai landasan hukum agama, yang dikenal dengan istilah Ingkar As-Sunnah.

Munculnya pandangan ini berawal dari keraguan terhadap keaslian hadis, karena hadis baru dikodifikasi setelah wafatnya Nabi . Situasi ini ditambah dengan adanya hadis-hadis palsu yang beredar pada masa tertentu, sehingga melahirkan sikap curiga terhadap keseluruhan sunnah. Selain itu, sebagian pihak terpengaruh oleh pemikiran rasionalis dan modernis yang menilai bahwa hanya Al-Qur’an yang layak dijadikan pedoman, sedangkan hadis dianggap tidak relevan dengan konteks zaman.

Keberadaan paham Ingkar As-Sunnah membawa dampak serius, karena menafikan fungsi Nabi sebagai penjelas wahyu sekaligus teladan umat. Tanpa bimbingan sunnah, praktik ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji tidak akan dapat dijalankan secara tepat. Oleh sebab itu, memperkuat pemahaman tentang urgensi As-Sunnah sangat penting agar umat Islam terhindar dari pemikiran yang menyimpang dari ajaran pokok agama..

 

 

 

 

 

 

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas kita dapat mengetahui rumusan apa saja yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:

1.      Apa yang dimaksud dengan Ingkar As-sunnah?

2.      Bagaimana pandangan penganut Ingkar As-sunnah?

3.      Bagaimana Pro-Kontra, dan Ingkar As-Sunnah di Indonesia?

C. Tujuan penulisan

            Dari rumusan masalah diatas, kita dapat menyimpulkan tujuan rumusan masasalah sebagai berikut

1.      Untuk mengetahui pengertian dan ruang lingkup paham Ingkar As-Sunnah.

2.      Untuk memahami alasan dan dasar yang digunakan kelompok Ingkar As-Sunnah dalam menolak hadis.

3.      Untuk menguraikan kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an.

4.      Untuk menganalisis dampak negatif dari paham Ingkar As-Sunnah terhadap akidah dan praktik ibadah umat Islam.

D. Signifikansi

Penelitian mengenai Ingkar As-Sunnah memiliki signifikansipenting baik dari aspek akademik maupun praktis, antara lain :

1.      Signifikansi Akademik

“Inkar al-Sunnah” (إنكار السنة) secara sederhana berarti menolak otoritas Sunnah (hadis Nabi ) sebagai sumber ajaran Islam. Fenomena ini memiliki signifikansi akademis yang cukup penting karena berkaitan langsung dengan dasar epistemologi hukum Islam, sejarah pemikiran, serta metodologi keilmuan dalam studi Islam.

2.      Signifikaansi Praktis

Pemahaman yang mendalam tentang inkar As-Sunnah Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengembangan Intinya, inkar al-sunnah bukan sekadar soal menolak hadis, tetapi fenomena intelektual yang penting ditelaah karena menyentuh fondasi ilmu, sejarah, hukum, hingga praktik sosial dalam Islam.

3.      Signifikansi Teologis dan Sosial

Dari sisi teologis, inkar al-sunnah mengguncang konsep dasar tentang kenabian, wahyu, dan integrasi ajaran Islam. Dari sisi sosial, ia berdampak pada pola interaksi umat, otoritas keagamaan, keragaman praktik, dan bahkan persatuan masyarakat Muslim.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian ingkar al-Sunnah

Alsunna berasal dari bahasa Arab "السنة" (as-sunnah) yang berarti jalan, kebiasaan, atau tuntunan. Dalam Islam, istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad , baik berupa ucapan, tindakan, maupun persetujuan beliau[1].

Selain itu, kata Alsunna juga kerap digunakan sebagai nama untuk yayasan, lembaga, atau komunitas yang berlandaskan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara umum, maknanya merujuk pada ajaran dan tuntunan hidup Nabi  yang menjadi pedoman umat Muslim.

Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan pengetahuan, tetapi juga sebagai wadah pembentukan akhlak dan karakter. Dalam Islam, budaya sunnah memiliki peran penting untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sunnah Nabi Muhammad berisi teladan hidup yang mencakup ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau. Penerapan nilai-nilai sunnah dalam pendidikan dapat menjadikan proses belajar mengajar lebih bermakna, karena tidak hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga spiritual dan moral[2].

Budaya sunnah dalam pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, pembiasaan adab sebelum menuntut ilmu, menanamkan niat ikhlas dalam belajar, membiasakan doa dan dzikir, serta mengajarkan sikap saling menghormati antara guru dan murid. Rasulullah selalu menekankan pentingnya adab dan akhlak, bahkan sebelum seseorang mendalami ilmu. Dengan demikian, pendidikan yang berlandaskan sunnah akan menghasilkan peserta didik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter mulia[3].

Tujuan utama penerapan budaya sunnah dalam pendidikan adalah membentuk generasi yang seimbang antara ilmu dan akhlak. Generasi seperti inilah yang diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat serta menjadi penerus yang menjaga nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, mengintegrasikan budaya sunnah ke dalam pendidikan merupakan langkah strategis untuk mencetak manusia yang berilmu, beriman, dan berakhlak mulia.[4]

 

B.     Definisi Inkar al-Sunnah

Inkar al-Sunnah dapat dipahami sebagai suatu pandangan atau aliran pemikiran yang menolak, meragukan, atau tidak mengakui keberlakuan Sunnah Nabi Muhammad sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Paham ini berangkat dari keyakinan bahwa hanya Al-Qur’an yang layak dijadikan rujukan utama dan satu-satunya dasar hukum, sementara hadis atau Sunnah dianggap tidak memiliki otoritas yang mengikat.[5]

Dalam perspektif teologis, inkar al-sunnah berarti mengurangi peran kenabian, sebab Nabi tidak hanya berfungsi sebagai penyampai wahyu Al-Qur’an, tetapi juga sebagai penafsir dan teladan praktis bagi umat Islam. Bila Sunnah diabaikan, maka fungsi Nabi sebagai uswah hasanah menjadi tereduksi.

Sementara dari segi hukum Islam, paham ini menolak hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Akibatnya, banyak rincian hukum yang seharusnya dijelaskan melalui Sunnah menjadi tidak terpakai, misalnya tata cara shalat, rincian zakat, dan aturan-aturan sosial yang dijabarkan Nabi.[6]

Secara historis, gerakan inkar al-sunnah muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang bersikap ekstrem dengan menolak seluruh Sunnah, ada pula yang hanya menolak hadis-hadis tertentu yang dianggap lemah atau tidak sesuai dengan akal dan perkembangan zaman[7]. Fenomena ini muncul sejak masa klasik, namun mendapatkan bentuk baru pada era modern ketika sebagian kalangan Muslim berusaha menafsirkan agama dengan lebih rasional dan langsung kepada Al-Qur’an.

Dengan demikian, inkar al-sunnah dapat dirangkum sebagai sebuah sikap keberagamaan yang menolak otoritas Sunnah, baik sebagian maupun keseluruhan, dan hal ini berdampak pada cara umat memahami akidah, menjalankan ibadah, dan merumuskan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.

C.      Pro-Kontra, dan Ingkar al-Sunnah di Indonesia

Fenomena Inkar al-Sunnah di Indonesia menimbulkan pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan umat Islam. Di satu sisi, sebagian kelompok atau individu mendukung pandangan ini dengan alasan bahwa Al-Qur’an sudah cukup sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa segala hal penting mengenai ibadah maupun hukum sudah termaktub dalam Al-Qur’an, sehingga tidak perlu bergantung pada hadis. Selain itu, argumen lain yang sering dikemukakan adalah soal keraguan terhadap keaslian hadis. [8]

Menurut mereka, karena hadis diriwayatkan melalui jalur manusia dalam rentang waktu yang panjang setelah wafatnya Nabi, maka tidak ada jaminan mutlak atas keabsahannya. Dari sudut pandang ini, hadis dianggap rentan dipalsukan atau dipengaruhi kepentingan politik dan sosial pada masa lalu. Pandangan ini juga biasanya didorong oleh semangat rasionalitas modern, yaitu keinginan agar agama ditafsirkan secara logis, praktis, dan tidak terikat pada teks-teks yang dinilai meragukan.

 Inkar al-Sunnah muncul sebagai respons atas praktik-praktik keagamaan yang dianggap “tradisi” belaka, sehingga penganutnya lebih memilih kembali langsung kepada Al-Qur’an tanpa perantara hadis.[9]

 

Namun, di sisi lain, mayoritas ulama dan lembaga keagamaan di Indonesia menolak keras paham ini. Mereka menegaskan bahwa Sunnah adalah sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an yang keberadaannya telah disepakati dalam ijmaʿ ulama sepanjang sejarah. [10]

Dalam pandangan tradisional, Sunnah tidak bisa dipisahkan dari Al-Qur’an, sebab banyak ajaran dalam kitab suci yang bersifat global dan membutuhkan penjelasan melalui hadis Nabi. Misalnya, tata cara shalat, jumlah rakaat, aturan zakat, hingga rincian hukum waris—semuanya lebih jelas karena penjelasan Rasulullah. Jika Sunnah ditolak, maka ajaran Islam akan kehilangan keutuhan dan mudah ditafsirkan semaunya, bahkan menimbulkan kekacauan dalam praktik ibadah dan hukum. Ulama juga menilai bahwa keraguan terhadap hadis justru menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap disiplin ilmu hadis yang selama berabad-abad dikembangkan untuk menjaga otentisitas riwayat Nabi.

Secara sosial, pro dan kontra Inkar al-Sunnah di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Masyarakat Muslim Indonesia yang sangat besar dan beragam, dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan orientasi keagamaan yang berbeda-beda, menjadi lahan subur bagi perbedaan pandangan ini. Ada komunitas yang cenderung rasional dan modernis, sehingga lebih mudah menerima gagasan cukup berpegang pada Al-Qur’an saja. Sebaliknya, lembaga-lembaga keagamaan arus utama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengeluarkan fatwa untuk menolak dan melarang penyebaran paham ini, dengan alasan dapat merusak akidah dan memecah belah umat.

Dengan demikian, pro kontra Inkar al-Sunnah di Indonesia tidak hanya menyangkut perdebatan teologis atau akademis semata, melainkan juga berimplikasi langsung pada kehidupan sosial dan praktik keberagamaan umat. Pihak yang pro melihatnya sebagai langkah pembaruan menuju Islam yang lebih rasional dan sederhana, sedangkan pihak yang kontra menilainya sebagai ancaman terhadap kelengkapan ajaran Islam dan persatuan umat. Pertarungan wacana ini pada akhirnya mencerminkan dinamika internal umat Islam Indonesia dalam menghadapi tantangan modernitas dan tradisi keilmuan yang telah mapan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUNTUP

A.     Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai Inkar al-Sunnah dapat ditarik kesimpulan bahwa paham ini lahir dari kecenderungan menempatkan akal manusia sebagai ukuran utama dalam memahami ajaran agama. Kelompok yang menganut Inkar al-Sunnah meyakini bahwa Al-Qur’an saja sudah mencukupi, sementara hadis dianggap tidak terjamin kebenarannya sehingga tidak relevan untuk dijadikan sumber hukum. Dengan pandangan tersebut, mereka merasa bahwa dengan menggunakan akal secara langsung, setiap orang mampu menafsirkan isi Al-Qur’an tanpa harus merujuk pada Sunnah Nabi Muhammad .

Namun, pendekatan ini menimbulkan banyak persoalan. Al-Qur’an sebagai kitab suci memang berisi prinsip-prinsip dasar, tetapi banyak ayatnya yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan lebih lanjut. Di sinilah letak pentingnya Sunnah, yaitu sebagai penafsiran praktis dari ajaran Al-Qur’an. Jika Sunnah ditolak, maka tata cara ibadah, aturan muamalah, serta ketentuan hukum dalam Islam menjadi kabur, bahkan berpotensi ditafsirkan secara subjektif sesuai akal masing-masing. Hal ini tentu menimbulkan ketidakteraturan dan kerancuan dalam kehidupan beragama.

Sebaliknya, pandangan mayoritas ulama menegaskan bahwa akal memang memiliki kedudukan penting, tetapi perannya bukan menggantikan wahyu, melainkan mendukung dan menguatkan pemahaman terhadap wahyu. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber utama yang saling melengkapi, sementara akal diposisikan sebagai instrumen untuk memahami, mengkritisi, dan mengambil hikmah dari keduanya. Dengan keseimbangan seperti ini, akal tetap digunakan secara maksimal, tetapi dalam koridor bimbingan wahyu.

 

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Inkar al-Sunnah yang menempatkan akal di atas wahyu justru mengaburkan esensi ajaran Islam. Islam sejatinya membangun harmoni antara akal dan wahyu: akal berfungsi sebagai sarana berpikir dan memahami, sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah tetap menjadi rujukan utama yang tidak boleh dipisahkan. Keselarasan inilah yang menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus memberikan ruang bagi rasionalitas untuk berkembang dalam bingkai petunjuk ilahi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

(Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam, Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam | Mau`izhah : Jurnal Kajian Keislaman, n.d.)

(Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep - Fathurrahman Djamil - Google Buku, n.d.)

(AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum | Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, n.d.)

(Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep - Fathurrahman Djamil - Google Buku, n.d.)

(Kedudukan As-Sunnah Sebagai Sumber Dan Hukum Pendidikan Islam Di Era Milenial | Tarbawiyah : Jurnal Ilmiah Pendidikan, n.d.)

(Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

Al-Qur’an al-Karim. (tanpa tahun).

Azami, M. M. (2003). Studies in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

 

 

 

 

 

 



[1] AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum | Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman. (n.d.). Retrieved September 22, 2025, from https://ejournal.uit-lirboyo.ac.id/index.php/tribakti/article/view/255

Al-Qur’an Sebagai Sumber

 

[2] (AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum | Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, n.d.)

[3] Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[4] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[5] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[6] (Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep - Fathurrahman Djamil - Google Buku, n.d.)

[7] (Kedudukan As-Sunnah Sebagai Sumber Dan Hukum Pendidikan Islam Di Era Milenial | Tarbawiyah : Jurnal Ilmiah Pendidikan, n.d.)

[8] (Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam, Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam | Mau`izhah : Jurnal Kajian Keislaman, n.d.)

[9] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[10] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

POSITIVISME DAN KRITIK TERHADAP FILSAFAT ILMU

 

A.     LATAR BELAKANG

Positivisme muncul pada abad ke-19 melalui pemikiran Auguste Comte yang menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh dari pengalaman empiris yang bisa diamati dan diukur. Lahirnya aliran ini tidak terlepas dari keberhasilan ilmu-ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi dalam menjelaskan fenomena secara rasional[1]. Comte melihat perkembangan ilmu sebagai suatu proses bertahap, yakni dari tahap teologis, metafisis, hingga tahap positif yang dianggap sebagai puncak kemajuan. Dalam pandangan positivisme, tugas ilmu pengetahuan adalah menemukan hukum-hukum universal yang berlaku atas fakta, sekaligus menolak spekulasi metafisis. Bahkan, ilmu sosial pun menurut Comte harus mengikuti metode yang sama seperti ilmu alam.

 

Namun, aliran ini tidak lepas dari kritik dalam filsafat ilmu. Karl Popper menolak prinsip verifikasi yang dipegang kaum positivis dengan menekankan bahwa kebenaran ilmiah tidak pernah final, melainkan harus selalu terbuka untuk dibantah (falsifikasi).[2] Thomas Kuhn menambahkan bahwa perkembangan ilmu tidak bersifat linier, tetapi berlangsung melalui pergantian paradigma[3]. Selain itu, para pemikir hermeneutika seperti Dilthey dan Weber mengkritik penerapan metode ilmu alam pada ilmu sosial karena manusia memiliki kesadaran, kebebasan, dan nilai, sehingga pendekatan pemahaman (verstehen) lebih tepat dibanding sekadar penjelasan kausal. Kritik juga datang dari sisi ontologis, di mana positivisme dinilai reduksionis karena hanya mengakui fakta empiris dan mengabaikan dimensi etis, normatif, dan metafisis.

 

Kendati demikian, positivisme tetap memberi sumbangan besar bagi berkembangnya metode ilmiah modern. Akan tetapi, berbagai kritik terhadapnya melahirkan kesadaran baru bahwa ilmu pengetahuan bersifat tentatif, kontekstual, dan tidak tunggal. Filsafat ilmu masa kini kemudian tidak hanya berfokus pada metode dan validitas ilmiah, melainkan juga memperhatikan nilai, etika, serta dampak sosial dari praktik ilmu pengetahuan.

B.     RUMUSAN MASALAH

Dari latarbelakang yang telah di uraikan diatas, maka dapat di tarik rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana latar belakang munculnya aliran positivisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan?

2.      Apa saja prinsip-prinsip utama yang menjadi dasar pemikiran positivisme?

3.      Bagaimana bentuk kritik yang diajukan terhadap positivisme dalam filsafat ilmu, baik dari aspek epistemologi, metodologi, maupun ontologi?

4.      Apa implikasi dari kritik tersebut terhadap perkembangan filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan pada masa kini

         C.         TUJUAN MASALAH

Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menguraikan latar belakang lahirnya positivisme dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan serta menjelaskan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan pemikirannya. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan menganalisis berbagai kritik yang ditujukan kepada positivisme, baik dari segi epistemologis, metodologis, maupun ontologis. Melalui analisis tersebut, diharapkan dapat terlihat implikasi penting yang ditimbulkan oleh kritik terhadap positivisme, khususnya bagi perkembangan filsafat ilmu dan arah ilmu pengetahuan pada masa kontemporer.

 

D.     MANFAAT MAKALAH

Makalah ini memiliki kegunaan baik dari sisi teoritis maupun praktis. Dari segi teoritis, kajian mengenai positivisme dan kritik terhadapnya dapat memperluas wawasan tentang filsafat ilmu, terutama dalam memahami kontribusi positivisme terhadap perkembangan metode ilmiah sekaligus menyadari keterbatasannya. Dari sisi praktis, makalah ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa dan peneliti agar tidak hanya memandang ilmu pengetahuan sebatas data empiris, tetapi juga memperhatikan nilai, etika, serta konsekuensi sosial yang ditimbulkannya. Dengan demikian, pembahasan dalam makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca melihat ilmu pengetahuan secara lebih kritis dan menyeluruh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

A.     Munculnya aliaran Positivisme dalam Filsafat Ilmu

Aliran positivisme mulai berkembang pada abad ke-19, terutama di tengah situasi Eropa yang sedang mengalami perubahan besar dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan sosial. Kemajuan pesat dalam ilmu-ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi membuktikan bahwa fenomena alam dapat dijelaskan secara rasional melalui pengamatan dan percobaan, tanpa harus bergantung pada penafsiran metafisis atau keyakinan religius. Dalam konteks inilah Auguste Comte, seorang filsuf asal Prancis, merumuskan gagasannya tentang positivisme[4]. Ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan sejati harus bersumber pada data empiris yang dapat diamati langsung dengan pancaindra, diukur secara objektif, serta dibuktikan melalui pengalaman. Dengan cara itu, ilmu dapat mencapai kepastian dan terhindar dari spekulasi yang tidak dapat diuji kebenarannya.

Lebih jauh, Comte memperkenalkan hukum tiga tahap perkembangan berpikir manusia, yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Pada tahap teologis, manusia menjelaskan segala peristiwa dengan mengaitkannya pada kekuatan adikodrati. Pada tahap metafisis, penjelasan didasarkan pada konsep-konsep abstrak yang masih bersifat spekulatif. Sedangkan pada tahap positif, manusia meninggalkan penafsiran supranatural maupun spekulatif, dan mulai menggunakan metode ilmiah untuk mencari hukum-hukum yang mengatur gejala alam maupun kehidupan sosial. Menurut Comte, tahap positif adalah puncak kematangan akal manusia karena di sinilah pengetahuan diperoleh secara sistematis, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.[5]

 

Positivisme kemudian menjadi salah satu aliran yang sangat berpengaruh dalam filsafat ilmu. Aliran ini berhasil memberikan fondasi penting bagi cara pandang modern tentang ilmu pengetahuan, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui metode ilmiah yang teruji. Selain itu, positivisme juga mendorong agar ilmu sosial dipelajari dengan pendekatan yang sama seperti ilmu alam, yakni berdasarkan data empiris dan hukum universal. Dengan demikian, lahirnya positivisme tidak hanya menjadi tonggak dalam perkembangan filsafat ilmu, tetapi juga mengubah cara manusia memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.


B.    Prinsip-prinsip utama yang menjadi dasar pemikiran positivisme

Pokok ajaran positivisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris yang dapat diamati dan dibuktikan secara nyata. Aliran ini menolak segala bentuk spekulasi metafisis atau gagasan abstrak yang tidak bisa diverifikasi. Tujuan utama ilmu, menurut positivisme, adalah menemukan hukum-hukum umum yang mengatur berbagai gejala, baik di alam maupun dalam masyarakat, dengan menggunakan metode ilmiah yang sistematis[6].

 Karena itu, langkah-langkah penelitian seperti observasi, klasifikasi, hingga generalisasi dianggap penting agar pengetahuan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh lagi, positivisme memandang bahwa fenomena sosial pun harus dipelajari dengan cara yang sama seperti fenomena alam, sebab keduanya diyakini tunduk pada hukum tertentu. Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan positivisme sebagai landasan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, meskipun pada akhirnya juga memunculkan berbagai kritik.

C.      Positivisme sebagai aliran filsafat ilmu

sejak abad ke-19, terutama dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte dan kemudian dianut oleh lingkaran Wina, mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan. Positivisme berangkat dari asumsi bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris yang dapat diverifikasi secara inderawi. Dari sisi epistemologi, klaim ini dianggap terlalu menyempitkan cakupan pengetahuan manusia. Dengan menekankan bahwa hanya pengetahuan yang bisa diuji secara empiris yang sah, positivisme mereduksi kompleksitas pengetahuan dan menyingkirkan bidang-bidang penting seperti metafisika, etika, dan estetika sebagai sesuatu yang “tidak bermakna”. Padahal, sejarah perkembangan ilmu menunjukkan bahwa banyak teori ilmiah awalnya bersifat hipotesis dan baru kemudian dapat dibuktikan secara empiris, misalnya teori tentang atom atau medan elektromagnetik.

 

Kritik juga datang dari masalah induksi sebagaimana dipersoalkan Hume dan Popper Induksi tidak menjamin kebenaran universal karena kesimpulan dari pengalaman terbatas tidak serta-merta berlaku untuk semua kasus. Popper bahkan menolak verifikasi sebagai kriteria utama, lalu menggantinya dengan falsifikasi, yakni pengujian teori melalui upaya pembantahan. Selain itu, Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend menggarisbawahi bahwa fakta ilmiah tidak netral sebagaimana diklaim positivisme, melainkan selalu diwarnai oleh paradigma dan kerangka teori yang digunakan para ilmuwan. Dengan demikian, pengetahuan tidak bisa dipandang sebagai cerminan murni dari kenyataan objektif.[7]

 

Dari sisi metodologi, positivisme mendapat kritik karena menganggap metode ilmiah bersifat universal, objektif, dan berlaku sama untuk semua bidang, termasuk ilmu sosial. Kritik tajam datang dari tokoh-tokoh seperti Wilhelm Dilthey dan Max Weber yang menegaskan bahwa ilmu sosial memiliki karakteristik berbeda dengan ilmu alam[8]. Fenomena sosial tidak dapat dijelaskan semata-mata secara kausal, tetapi harus dipahami melalui makna, kesadaran, dan tujuan yang ada dalam tindakan manusia. Pendekatan verstehen (pemahaman) diperlukan untuk melengkapi metode penjelasan kausal yang terlalu sempit[9]. Lebih jauh, Kuhn menolak pandangan bahwa ilmu berkembang secara linear melalui akumulasi fakta.

 

Menurutnya, perkembangan ilmu justru berlangsung melalui revolusi paradigma, yaitu pergeseran besar dalam kerangka berpikir yang mendasari penelitian. Feyerabend bahkan menentang ide bahwa ada satu metode ilmiah yang tunggal dan universal. Baginya, sejarah ilmu membuktikan bahwa metode yang dianggap tidak ortodoks justru sering melahirkan kemajuan penting, sehingga ia berani menyatakan prinsip “anything goes”[10]. Di samping itu, positivisme juga dikritik karena klaimnya tentang objektivitas penuh dalam penelitian. Habermas, misalnya, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berhubungan dengan kepentingan dan nilai tertentu, baik dalam pemilihan objek penelitian maupun dalam interpretasi hasil, sehingga tidak ada penelitian yang sepenuhnya netral.

 

Pada aspek ontologis, positivisme memandang realitas sebagai himpunan fakta objektif yang dapat diamati secara netral[11]. Pandangan ini dikritik karena dianggap naif dan menyederhanakan kenyataan yang lebih kompleks. Dalam ilmu sosial, fenomena tidak bisa direduksi menjadi fakta empiris belaka, karena sarat dengan makna, simbol, dan interaksi yang tidak selalu kasat mata. Aliran konstruktivisme kemudian menunjukkan bahwa realitas ilmiah tidak semata-mata “ditemukan”, tetapi juga “dibangun” melalui bahasa, paradigma, dan praktik sosial para ilmuwan.[12]

Selain itu, positivisme cenderung mengabaikan eksistensi entitas yang tidak bisa diamati langsung. Padahal, dalam sains modern banyak konsep seperti quark, medan gravitasi, atau gelombang elektromagnetik yang pada awalnya tidak teramati, tetapi diakui keberadaannya secara teoritis sebelum kemudian dapat dibuktikan. Pandangan ini menunjukkan bahwa ontologi positivis terlalu sempit dan tidak memadai untuk menjelaskan cara kerja ilmu kontemporer. Lebih jauh, pemisahan kaku antara fakta dan nilai juga dipersoalkan. Dalam kenyataan, fakta tidak pernah sepenuhnya terlepas dari nilai, apalagi dalam konteks ilmu sosial dan humaniora, di mana interpretasi terhadap fakta sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan perspektif tertentu.[13] 

Secara keseluruhan, kritik terhadap positivisme mengungkap keterbatasan pandangannya yang terlalu menekankan empirisme, metode tunggal, serta keyakinan akan objektivitas absolut. Filsuf-filsuf setelah era positivisme, seperti Popper, Kuhn, Feyerabend, hingga Habermas, memperluas horizon filsafat ilmu dengan menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat fallibilis, kontekstual, historis, dan sarat nilai. Dari sini, lahirlah beragam pendekatan baru dalam filsafat ilmu yang lebih terbuka terhadap pluralitas metode, keberagaman perspektif, serta keterkaitan antara ilmu, masyarakat, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, kritik terhadap positivisme justru menjadi pendorong penting dalam perkembangan filsafat ilmu modern.

D.     Implikasi dari kritik tersebut terhadap perkembangan filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan pada masa kini

Kritik terhadap positivisme membawa dampak yang luas bagi perkembangan filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan pada masa kini. Dalam ranah filsafat ilmu, kritik tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya netral, pasti, dan bebas nilai sebagaimana diasumsikan oleh kaum positivis. Pemikiran Popper tentang falsifikasi, misalnya, menggeser orientasi dari verifikasi mutlak menuju pandangan bahwa teori ilmiah selalu bersifat sementara dan terbuka untuk dibantah oleh data baru[14]. Kuhn menambahkan bahwa perkembangan ilmu bukanlah proses linear yang hanya menumpuk fakta, melainkan berlangsung melalui pergeseran paradigma yang bersifat historis dan kontekstual[15]. Feyerabend kemudian menekankan pentingnya pluralisme metodologis dan menolak adanya metode tunggal yang mengikat semua cabang ilmu[16], sementara Habermas menunjukkan keterkaitan erat antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan tertentu, sehingga refleksi kritis terhadap nilai dan tujuan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam filsafat ilmu. Dengan demikian, filsafat ilmu kontemporer lebih menekankan sifat korektif, terbuka, serta peka terhadap dimensi historis dan normatif dari pengetahuan ilmiah.

Dalam praktik ilmu pengetahuan, implikasi dari kritik terhadap positivisme juga sangat signifikan. Ilmu sosial tidak lagi dipaksa meniru pola ilmu alam yang hanya menekankan kausalitas, melainkan mengembangkan pendekatan kualitatif, hermeneutik, dan interpretatif yang lebih sesuai untuk memahami makna serta pengalaman manusia. Ilmu alam sendiri pun semakin menyadari keterbatasan empirisisme sempit, karena banyak entitas yang pada awalnya tidak bisa diamati langsung—seperti quark atau energi gelap—tetap menjadi bagian penting dari konstruksi teori ilmiah.

 Kesadaran ini memperluas ruang bagi teori sebagai alat konseptual yang tidak sekadar merekam fakta empiris, melainkan juga membangun model untuk memahami realitas. Selain itu, kritik terhadap positivisme mendorong lahirnya penelitian interdisipliner yang memadukan sains, sosial, dan humaniora demi menjawab kompleksitas masalah nyata. Etika dan nilai juga mendapat perhatian lebih besar, sebab ilmu pengetahuan kini tidak hanya dituntut menghasilkan penjelasan objektif, tetapi juga harus mempertimbangkan implikasi sosial, kemanusiaan, dan ekologis dari penerapannya.

 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kritik terhadap positivisme tidak melemahkan sains, melainkan memperkaya cara pandang terhadap ilmu. Orientasi ilmu pengetahuan masa kini lebih reflektif, pluralis, dan sadar nilai, sehingga lebih relevan dalam menghadapi tantangan global sekaligus lebih peka terhadap dimensi kemanusiaan. Kritik ini sekaligus menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar upaya teknis untuk menjelaskan dunia, tetapi juga sebuah praksis yang berhubungan erat dengan konteks sosial, budaya, dan etika masyarakat yang melingkupinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.     KRITIK

Positivisme yang dipelopori Auguste Comte menekankan bahwa pengetahuan sahih hanya bisa diperoleh melalui metode ilmiah yang berbasis observasi dan pengalaman empiris. Namun, pandangan ini menuai banyak kritik. Positivisme dianggap reduksionis karena mereduksi realitas hanya pada aspek yang dapat diukur secara empiris, sehingga mengabaikan dimensi subjektif, nilai, dan makna manusia. Selain itu, klaimnya tentang netralitas ilmu juga dipersoalkan, sebab dalam praktiknya ilmu sering terkait dengan kepentingan sosial, politik, maupun ekonomi. Dalam ilmu sosial, pendekatan positivistik dianggap kurang memadai karena manusia bukan sekadar objek pasif, melainkan subjek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Kritik lain juga diarahkan pada fondasi induktifnya, sebab generalisasi dari pengalaman terbatas tidak menjamin kebenaran universal.

Dalam filsafat ilmu, berbagai pemikir memberikan koreksi terhadap kelemahan positivisme. Karl Popper menolak prinsip verifikasi dan menggantinya dengan falsifikasi, di mana teori ilmiah diuji bukan untuk membuktikan kebenarannya, tetapi untuk melihat apakah bisa digugurkan. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak berlangsung secara linear, melainkan melalui pergantian paradigma yang juga dipengaruhi faktor historis dan sosial. Paul Feyerabend lebih radikal lagi dengan menolak adanya metode ilmiah tunggal, sehingga menurutnya tidak ada keistimewaan ilmu dibanding bentuk pengetahuan lain seperti seni atau mitos. Sementara itu, Habermas dan Mazhab Frankfurt menyoroti aspek ideologis ilmu pengetahuan, di mana ilmu sering dijadikan alat kepentingan sehingga perlu diarahkan pada fungsi emansipatoris. Pemikir postmodern pun menolak klaim kebenaran universal dan objektif, dengan menekankan bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah konstruksi sosial yang beragam.

 

Dengan demikian, kritik terhadap positivisme dan filsafat ilmu secara umum berpusat pada kelemahannya yang terlalu mengedepankan objektivitas empiris, sehingga mengabaikan dimensi historis, normatif, sosial, dan subjektif dari ilmu itu sendiri.

B.     SARAN

Karena positivisme sering dianggap bersifat reduksionis, mekanis, dan mengesampingkan aspek nilai, maka diperlukan pendekatan ilmu yang lebih menyeluruh. Positivisme tetap berguna dalam menghasilkan pengetahuan empiris yang sistematis, tetapi akan lebih baik jika diperkaya dengan pendekatan lain, seperti hermeneutika, kritisisme, maupun fenomenologi, agar dimensi kesadaran, makna, dan nilai manusia tetap terakomodasi. Dengan demikian, ilmu tidak berhenti pada deskripsi tentang kenyataan apa adanya, tetapi juga dapat memberikan arahan normatif mengenai apa yang seharusnya.

Adapun berbagai kritik filsafat ilmu dari tokoh-tokoh seperti Popper, Kuhn, Feyerabend, hingga pemikir kritis dan postmodern, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya netral atau objektif, melainkan dipengaruhi oleh konteks sosial, sejarah, dan ideologi. Oleh karena itu, praktik ilmiah sebaiknya lebih reflektif, terbuka, dan peka terhadap konteks, agar tidak terjebak pada klaim kebenaran tunggal yang menyingkirkan perspektif lain. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan tidak hanya diarahkan untuk mengendalikan realitas, tetapi juga harus berfungsi membebaskan dan memberdayakan manusia, dengan mengintegrasikan aspek empiris, etis, dan humanis dalam setiap pengembangannya

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ajrina, Alya, Alya Nurul Latifah, Annisa Nur Ramadha, et al. HUBUNGAN PENGETAHUAN ALAM MENGENAI MATERI ATOM DENGAN ILMU AL-QUR’AN. 1 (2023).

Dochmie, Mohammad Rivaldi. Keilmiahan Ilmu-ilmu Islam Ditinjau dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper. n.d.

“Ekonomi Islam Studi Pemikiran Paul Karl Feyerabend Tentang Anarkhi Epistemologis | TRIPUTRA : Sosial, Ekonomi Dan Hukum.” Accessed September 29, 2025. https://journal.nacreva.com/index.php/triputra/article/view/92.

“El Paradigma Científico y Su Fundamento En La Obra de Thomas Kuhn.” Accessed September 29, 2025. https://ve.scielo.org/scielo.php?pid=S1315-94962009000200006&script=sci_arttext.

“Filsafat Pengetahuan & Metodologi Ilmiah - Repository Antispublisher.” Accessed September 29, 2025. https://repository.antispublisher.my.id/id/eprint/14/.

“Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper | Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan Sains.” Accessed September 29, 2025. http://sunankalijaga.org/prosiding/index.php/kiiis/article/view/23.

“Kritik Terhadap Positivisme Dalam Filsafat Ilmu Pemikiran Rekonstruktif Terhadap Metode Penelitian | Literacy Notes.” Accessed September 29, 2025. http://liternote.com/index.php/ln/article/view/28.

Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 167–77. https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192.

“Paradigma Penelitian Fenomenologi Verstehen (Konsep Dan Implimentasinya) - Dr. Saeful Kurniawan, M.Pd, I - Google Buku.” Accessed September 29, 2025.

“Pengantar Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen Habermas - Muhamad Supraja - Google Buku.” Accessed September 29, 2025.

Putri, Elvira Linanda, Yeni Karneli, and Sufyarma Marsidin. “Paradigma dan Revolusi Ilmiah: Analisis Pandangan Thomas Kuhn.” Jurnal Filsafat 30 (2024).

Putri, Fia Alifah. PARADIGMA THOMAS KUHN: REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN. no. 2 (2020).

Sudibyo, Priyo. FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE. n.d.

Wahyudi, Mohamad Nur. “Epistemologi Islam di Era Modern: Studi Analisis Pemikiran Feyerabend tentang Anarkisme Epistemologi.” Alhamra Jurnal Studi Islam 2, no. 2 (2021): 134. https://doi.org/10.30595/ajsi.v2i2.11791.

 

 

 

 



[1] Sudibyo, FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE.

[2] Dochmie, Keilmiahan Ilmu-ilmu Islam Ditinjau dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper.

[3] Putri et al., “Paradigma dan Revolusi Ilmiah: Analisis Pandangan Thomas Kuhn.”

[4] Sudibyo, FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE.

[5] Sudibyo, FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE.

[6] Nugroho, “Positivisme Auguste Comte.”

[7] Putri, PARADIGMA THOMAS KUHN: REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN; Putri et al., “Paradigma dan Revolusi Ilmiah: Analisis Pandangan Thomas Kuhn.”

[8] “Pengantar Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen Habermas - Muhamad Supraja - Google Buku.”

[9] “Paradigma Penelitian Fenomenologi Verstehen (Konsep Dan Implimentasinya) - Dr. Saeful Kurniawan, M.Pd, I - Google Buku.”

[10] Wahyudi, “Epistemologi Islam di Era Modern.”

[11] “Kritik Terhadap Positivisme Dalam Filsafat Ilmu Pemikiran Rekonstruktif Terhadap Metode Penelitian | Literacy Notes.”

[12] “Filsafat Pengetahuan & Metodologi Ilmiah - Repository Antispublisher.”

[13] Ajrina et al., HUBUNGAN PENGETAHUAN ALAM MENGENAI MATERI ATOM DENGAN ILMU AL-QUR’AN.

[14] “Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper | Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan Sains.”

[15] “El Paradigma Científico y Su Fundamento En La Obra de Thomas Kuhn.”

[16] “Ekonomi Islam Studi Pemikiran Paul Karl Feyerabend Tentang Anarkhi Epistemologis | TRIPUTRA : Sosial, Ekonomi Dan Hukum.”

INGKAR AS-SUNNAH

  A.      Latar Belakang Dalam Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki kedudukan yang saling melengkapi sebagai sumber hukum utama. Al-Qur...