INGKAR AS-SUNNAH

 

A.     Latar Belakang

Dalam Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki kedudukan yang saling melengkapi sebagai sumber hukum utama. Al-Qur’an memberikan dasar-dasar ajaran, sedangkan As-Sunnah berperan memperjelas, merinci, dan mempraktikkan isi Al-Qur’an melalui perkataan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah . Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah muncul pemikiran yang menolak sunnah sebagai landasan hukum agama, yang dikenal dengan istilah Ingkar As-Sunnah.

Munculnya pandangan ini berawal dari keraguan terhadap keaslian hadis, karena hadis baru dikodifikasi setelah wafatnya Nabi . Situasi ini ditambah dengan adanya hadis-hadis palsu yang beredar pada masa tertentu, sehingga melahirkan sikap curiga terhadap keseluruhan sunnah. Selain itu, sebagian pihak terpengaruh oleh pemikiran rasionalis dan modernis yang menilai bahwa hanya Al-Qur’an yang layak dijadikan pedoman, sedangkan hadis dianggap tidak relevan dengan konteks zaman.

Keberadaan paham Ingkar As-Sunnah membawa dampak serius, karena menafikan fungsi Nabi sebagai penjelas wahyu sekaligus teladan umat. Tanpa bimbingan sunnah, praktik ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji tidak akan dapat dijalankan secara tepat. Oleh sebab itu, memperkuat pemahaman tentang urgensi As-Sunnah sangat penting agar umat Islam terhindar dari pemikiran yang menyimpang dari ajaran pokok agama..

 

 

 

 

 

 

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas kita dapat mengetahui rumusan apa saja yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:

1.      Apa yang dimaksud dengan Ingkar As-sunnah?

2.      Bagaimana pandangan penganut Ingkar As-sunnah?

3.      Bagaimana Pro-Kontra, dan Ingkar As-Sunnah di Indonesia?

C. Tujuan penulisan

            Dari rumusan masalah diatas, kita dapat menyimpulkan tujuan rumusan masasalah sebagai berikut

1.      Untuk mengetahui pengertian dan ruang lingkup paham Ingkar As-Sunnah.

2.      Untuk memahami alasan dan dasar yang digunakan kelompok Ingkar As-Sunnah dalam menolak hadis.

3.      Untuk menguraikan kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an.

4.      Untuk menganalisis dampak negatif dari paham Ingkar As-Sunnah terhadap akidah dan praktik ibadah umat Islam.

D. Signifikansi

Penelitian mengenai Ingkar As-Sunnah memiliki signifikansipenting baik dari aspek akademik maupun praktis, antara lain :

1.      Signifikansi Akademik

“Inkar al-Sunnah” (إنكار السنة) secara sederhana berarti menolak otoritas Sunnah (hadis Nabi ) sebagai sumber ajaran Islam. Fenomena ini memiliki signifikansi akademis yang cukup penting karena berkaitan langsung dengan dasar epistemologi hukum Islam, sejarah pemikiran, serta metodologi keilmuan dalam studi Islam.

2.      Signifikaansi Praktis

Pemahaman yang mendalam tentang inkar As-Sunnah Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengembangan Intinya, inkar al-sunnah bukan sekadar soal menolak hadis, tetapi fenomena intelektual yang penting ditelaah karena menyentuh fondasi ilmu, sejarah, hukum, hingga praktik sosial dalam Islam.

3.      Signifikansi Teologis dan Sosial

Dari sisi teologis, inkar al-sunnah mengguncang konsep dasar tentang kenabian, wahyu, dan integrasi ajaran Islam. Dari sisi sosial, ia berdampak pada pola interaksi umat, otoritas keagamaan, keragaman praktik, dan bahkan persatuan masyarakat Muslim.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian ingkar al-Sunnah

Alsunna berasal dari bahasa Arab "السنة" (as-sunnah) yang berarti jalan, kebiasaan, atau tuntunan. Dalam Islam, istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad , baik berupa ucapan, tindakan, maupun persetujuan beliau[1].

Selain itu, kata Alsunna juga kerap digunakan sebagai nama untuk yayasan, lembaga, atau komunitas yang berlandaskan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara umum, maknanya merujuk pada ajaran dan tuntunan hidup Nabi  yang menjadi pedoman umat Muslim.

Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan pengetahuan, tetapi juga sebagai wadah pembentukan akhlak dan karakter. Dalam Islam, budaya sunnah memiliki peran penting untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sunnah Nabi Muhammad berisi teladan hidup yang mencakup ucapan, perbuatan, dan persetujuan beliau. Penerapan nilai-nilai sunnah dalam pendidikan dapat menjadikan proses belajar mengajar lebih bermakna, karena tidak hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga spiritual dan moral[2].

Budaya sunnah dalam pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, pembiasaan adab sebelum menuntut ilmu, menanamkan niat ikhlas dalam belajar, membiasakan doa dan dzikir, serta mengajarkan sikap saling menghormati antara guru dan murid. Rasulullah selalu menekankan pentingnya adab dan akhlak, bahkan sebelum seseorang mendalami ilmu. Dengan demikian, pendidikan yang berlandaskan sunnah akan menghasilkan peserta didik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter mulia[3].

Tujuan utama penerapan budaya sunnah dalam pendidikan adalah membentuk generasi yang seimbang antara ilmu dan akhlak. Generasi seperti inilah yang diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat serta menjadi penerus yang menjaga nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, mengintegrasikan budaya sunnah ke dalam pendidikan merupakan langkah strategis untuk mencetak manusia yang berilmu, beriman, dan berakhlak mulia.[4]

 

B.     Definisi Inkar al-Sunnah

Inkar al-Sunnah dapat dipahami sebagai suatu pandangan atau aliran pemikiran yang menolak, meragukan, atau tidak mengakui keberlakuan Sunnah Nabi Muhammad sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Paham ini berangkat dari keyakinan bahwa hanya Al-Qur’an yang layak dijadikan rujukan utama dan satu-satunya dasar hukum, sementara hadis atau Sunnah dianggap tidak memiliki otoritas yang mengikat.[5]

Dalam perspektif teologis, inkar al-sunnah berarti mengurangi peran kenabian, sebab Nabi tidak hanya berfungsi sebagai penyampai wahyu Al-Qur’an, tetapi juga sebagai penafsir dan teladan praktis bagi umat Islam. Bila Sunnah diabaikan, maka fungsi Nabi sebagai uswah hasanah menjadi tereduksi.

Sementara dari segi hukum Islam, paham ini menolak hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Akibatnya, banyak rincian hukum yang seharusnya dijelaskan melalui Sunnah menjadi tidak terpakai, misalnya tata cara shalat, rincian zakat, dan aturan-aturan sosial yang dijabarkan Nabi.[6]

Secara historis, gerakan inkar al-sunnah muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang bersikap ekstrem dengan menolak seluruh Sunnah, ada pula yang hanya menolak hadis-hadis tertentu yang dianggap lemah atau tidak sesuai dengan akal dan perkembangan zaman[7]. Fenomena ini muncul sejak masa klasik, namun mendapatkan bentuk baru pada era modern ketika sebagian kalangan Muslim berusaha menafsirkan agama dengan lebih rasional dan langsung kepada Al-Qur’an.

Dengan demikian, inkar al-sunnah dapat dirangkum sebagai sebuah sikap keberagamaan yang menolak otoritas Sunnah, baik sebagian maupun keseluruhan, dan hal ini berdampak pada cara umat memahami akidah, menjalankan ibadah, dan merumuskan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.

C.      Pro-Kontra, dan Ingkar al-Sunnah di Indonesia

Fenomena Inkar al-Sunnah di Indonesia menimbulkan pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan umat Islam. Di satu sisi, sebagian kelompok atau individu mendukung pandangan ini dengan alasan bahwa Al-Qur’an sudah cukup sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa segala hal penting mengenai ibadah maupun hukum sudah termaktub dalam Al-Qur’an, sehingga tidak perlu bergantung pada hadis. Selain itu, argumen lain yang sering dikemukakan adalah soal keraguan terhadap keaslian hadis. [8]

Menurut mereka, karena hadis diriwayatkan melalui jalur manusia dalam rentang waktu yang panjang setelah wafatnya Nabi, maka tidak ada jaminan mutlak atas keabsahannya. Dari sudut pandang ini, hadis dianggap rentan dipalsukan atau dipengaruhi kepentingan politik dan sosial pada masa lalu. Pandangan ini juga biasanya didorong oleh semangat rasionalitas modern, yaitu keinginan agar agama ditafsirkan secara logis, praktis, dan tidak terikat pada teks-teks yang dinilai meragukan.

 Inkar al-Sunnah muncul sebagai respons atas praktik-praktik keagamaan yang dianggap “tradisi” belaka, sehingga penganutnya lebih memilih kembali langsung kepada Al-Qur’an tanpa perantara hadis.[9]

 

Namun, di sisi lain, mayoritas ulama dan lembaga keagamaan di Indonesia menolak keras paham ini. Mereka menegaskan bahwa Sunnah adalah sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an yang keberadaannya telah disepakati dalam ijmaʿ ulama sepanjang sejarah. [10]

Dalam pandangan tradisional, Sunnah tidak bisa dipisahkan dari Al-Qur’an, sebab banyak ajaran dalam kitab suci yang bersifat global dan membutuhkan penjelasan melalui hadis Nabi. Misalnya, tata cara shalat, jumlah rakaat, aturan zakat, hingga rincian hukum waris—semuanya lebih jelas karena penjelasan Rasulullah. Jika Sunnah ditolak, maka ajaran Islam akan kehilangan keutuhan dan mudah ditafsirkan semaunya, bahkan menimbulkan kekacauan dalam praktik ibadah dan hukum. Ulama juga menilai bahwa keraguan terhadap hadis justru menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap disiplin ilmu hadis yang selama berabad-abad dikembangkan untuk menjaga otentisitas riwayat Nabi.

Secara sosial, pro dan kontra Inkar al-Sunnah di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Masyarakat Muslim Indonesia yang sangat besar dan beragam, dengan latar belakang pendidikan, budaya, dan orientasi keagamaan yang berbeda-beda, menjadi lahan subur bagi perbedaan pandangan ini. Ada komunitas yang cenderung rasional dan modernis, sehingga lebih mudah menerima gagasan cukup berpegang pada Al-Qur’an saja. Sebaliknya, lembaga-lembaga keagamaan arus utama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengeluarkan fatwa untuk menolak dan melarang penyebaran paham ini, dengan alasan dapat merusak akidah dan memecah belah umat.

Dengan demikian, pro kontra Inkar al-Sunnah di Indonesia tidak hanya menyangkut perdebatan teologis atau akademis semata, melainkan juga berimplikasi langsung pada kehidupan sosial dan praktik keberagamaan umat. Pihak yang pro melihatnya sebagai langkah pembaruan menuju Islam yang lebih rasional dan sederhana, sedangkan pihak yang kontra menilainya sebagai ancaman terhadap kelengkapan ajaran Islam dan persatuan umat. Pertarungan wacana ini pada akhirnya mencerminkan dinamika internal umat Islam Indonesia dalam menghadapi tantangan modernitas dan tradisi keilmuan yang telah mapan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUNTUP

A.     Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai Inkar al-Sunnah dapat ditarik kesimpulan bahwa paham ini lahir dari kecenderungan menempatkan akal manusia sebagai ukuran utama dalam memahami ajaran agama. Kelompok yang menganut Inkar al-Sunnah meyakini bahwa Al-Qur’an saja sudah mencukupi, sementara hadis dianggap tidak terjamin kebenarannya sehingga tidak relevan untuk dijadikan sumber hukum. Dengan pandangan tersebut, mereka merasa bahwa dengan menggunakan akal secara langsung, setiap orang mampu menafsirkan isi Al-Qur’an tanpa harus merujuk pada Sunnah Nabi Muhammad .

Namun, pendekatan ini menimbulkan banyak persoalan. Al-Qur’an sebagai kitab suci memang berisi prinsip-prinsip dasar, tetapi banyak ayatnya yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan lebih lanjut. Di sinilah letak pentingnya Sunnah, yaitu sebagai penafsiran praktis dari ajaran Al-Qur’an. Jika Sunnah ditolak, maka tata cara ibadah, aturan muamalah, serta ketentuan hukum dalam Islam menjadi kabur, bahkan berpotensi ditafsirkan secara subjektif sesuai akal masing-masing. Hal ini tentu menimbulkan ketidakteraturan dan kerancuan dalam kehidupan beragama.

Sebaliknya, pandangan mayoritas ulama menegaskan bahwa akal memang memiliki kedudukan penting, tetapi perannya bukan menggantikan wahyu, melainkan mendukung dan menguatkan pemahaman terhadap wahyu. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber utama yang saling melengkapi, sementara akal diposisikan sebagai instrumen untuk memahami, mengkritisi, dan mengambil hikmah dari keduanya. Dengan keseimbangan seperti ini, akal tetap digunakan secara maksimal, tetapi dalam koridor bimbingan wahyu.

 

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Inkar al-Sunnah yang menempatkan akal di atas wahyu justru mengaburkan esensi ajaran Islam. Islam sejatinya membangun harmoni antara akal dan wahyu: akal berfungsi sebagai sarana berpikir dan memahami, sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah tetap menjadi rujukan utama yang tidak boleh dipisahkan. Keselarasan inilah yang menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus memberikan ruang bagi rasionalitas untuk berkembang dalam bingkai petunjuk ilahi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

(Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam, Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam | Mau`izhah : Jurnal Kajian Keislaman, n.d.)

(Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep - Fathurrahman Djamil - Google Buku, n.d.)

(AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum | Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, n.d.)

(Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep - Fathurrahman Djamil - Google Buku, n.d.)

(Kedudukan As-Sunnah Sebagai Sumber Dan Hukum Pendidikan Islam Di Era Milenial | Tarbawiyah : Jurnal Ilmiah Pendidikan, n.d.)

(Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

Al-Qur’an al-Karim. (tanpa tahun).

Azami, M. M. (2003). Studies in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

 

 

 

 

 

 



[1] AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum | Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman. (n.d.). Retrieved September 22, 2025, from https://ejournal.uit-lirboyo.ac.id/index.php/tribakti/article/view/255

Al-Qur’an Sebagai Sumber

 

[2] (AL SUNNAH; Telaah Segi Kedudukan Dan Fungsinya Sebagai Sumber Hukum | Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, n.d.)

[3] Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[4] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[5] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[6] (Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, Dan Konsep - Fathurrahman Djamil - Google Buku, n.d.)

[7] (Kedudukan As-Sunnah Sebagai Sumber Dan Hukum Pendidikan Islam Di Era Milenial | Tarbawiyah : Jurnal Ilmiah Pendidikan, n.d.)

[8] (Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam, Al-Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam | Mau`izhah : Jurnal Kajian Keislaman, n.d.)

[9] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

[10] (Korelasi Kedudukan Dan Fungsi Sunnah Sebagai Sumber Hukum Dengan Pembentukan Karakter Religius Peserta Didik | Baitul Hikmah: Jurnal Ilmiah Keislaman, n.d.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INGKAR AS-SUNNAH

  A.      Latar Belakang Dalam Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki kedudukan yang saling melengkapi sebagai sumber hukum utama. Al-Qur...