A.
LATAR BELAKANG
Positivisme
muncul pada abad ke-19 melalui pemikiran Auguste Comte yang menekankan bahwa pengetahuan
sejati hanya dapat diperoleh dari pengalaman empiris yang bisa diamati dan
diukur. Lahirnya aliran ini tidak terlepas dari keberhasilan ilmu-ilmu alam
seperti fisika, kimia, dan biologi dalam menjelaskan fenomena secara rasional[1].
Comte melihat perkembangan ilmu sebagai suatu proses bertahap, yakni dari tahap
teologis, metafisis, hingga tahap positif yang dianggap sebagai puncak
kemajuan. Dalam pandangan positivisme, tugas ilmu pengetahuan adalah menemukan
hukum-hukum universal yang berlaku atas fakta, sekaligus menolak spekulasi
metafisis. Bahkan, ilmu sosial pun menurut Comte harus mengikuti metode yang
sama seperti ilmu alam.
Namun,
aliran ini tidak lepas dari kritik dalam filsafat ilmu. Karl Popper menolak
prinsip verifikasi yang dipegang kaum positivis dengan menekankan bahwa
kebenaran ilmiah tidak pernah final, melainkan harus selalu terbuka untuk
dibantah (falsifikasi).[2]
Thomas Kuhn menambahkan bahwa perkembangan ilmu tidak
bersifat linier, tetapi berlangsung melalui pergantian paradigma[3].
Selain itu, para pemikir hermeneutika seperti Dilthey dan Weber mengkritik
penerapan metode ilmu alam pada ilmu sosial karena manusia memiliki kesadaran,
kebebasan, dan nilai, sehingga pendekatan pemahaman (verstehen) lebih tepat
dibanding sekadar penjelasan kausal. Kritik juga datang dari sisi ontologis, di
mana positivisme dinilai reduksionis karena hanya mengakui fakta empiris dan
mengabaikan dimensi etis, normatif, dan metafisis.
Kendati
demikian, positivisme tetap memberi sumbangan besar bagi berkembangnya metode
ilmiah modern. Akan tetapi, berbagai kritik terhadapnya melahirkan kesadaran
baru bahwa ilmu pengetahuan bersifat tentatif, kontekstual, dan tidak tunggal.
Filsafat ilmu masa kini kemudian tidak hanya berfokus pada metode dan validitas
ilmiah, melainkan juga memperhatikan nilai, etika, serta dampak sosial dari
praktik ilmu pengetahuan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari
latarbelakang yang telah di uraikan diatas, maka dapat di tarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang munculnya
aliran positivisme dalam perkembangan ilmu pengetahuan?
2. Apa saja prinsip-prinsip utama yang
menjadi dasar pemikiran positivisme?
3. Bagaimana bentuk kritik yang
diajukan terhadap positivisme dalam filsafat ilmu, baik dari aspek
epistemologi, metodologi, maupun ontologi?
4. Apa implikasi dari kritik tersebut
terhadap perkembangan filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan pada masa kini
C.
TUJUAN
MASALAH
Tujuan dari
pembahasan ini adalah untuk menguraikan latar belakang lahirnya positivisme
dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan serta menjelaskan prinsip-prinsip
dasar yang menjadi landasan pemikirannya. Selain itu, tulisan ini juga
bertujuan menganalisis berbagai kritik yang ditujukan kepada positivisme, baik
dari segi epistemologis, metodologis, maupun ontologis. Melalui analisis
tersebut, diharapkan dapat terlihat implikasi penting yang ditimbulkan oleh
kritik terhadap positivisme, khususnya bagi perkembangan filsafat ilmu dan arah
ilmu pengetahuan pada masa kontemporer.
D.
MANFAAT MAKALAH
Makalah ini
memiliki kegunaan baik dari sisi teoritis maupun praktis. Dari segi teoritis,
kajian mengenai positivisme dan kritik terhadapnya dapat memperluas wawasan
tentang filsafat ilmu, terutama dalam memahami kontribusi positivisme terhadap
perkembangan metode ilmiah sekaligus menyadari keterbatasannya. Dari sisi
praktis, makalah ini dapat menjadi rujukan bagi mahasiswa dan peneliti agar
tidak hanya memandang ilmu pengetahuan sebatas data empiris, tetapi juga
memperhatikan nilai, etika, serta konsekuensi sosial yang ditimbulkannya.
Dengan demikian, pembahasan dalam makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca
melihat ilmu pengetahuan secara lebih kritis dan menyeluruh.
PEMBAHASAN
A.
Munculnya aliaran Positivisme dalam Filsafat Ilmu
Aliran positivisme
mulai berkembang pada abad ke-19, terutama di tengah situasi Eropa yang sedang
mengalami perubahan besar dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kehidupan sosial. Kemajuan pesat dalam ilmu-ilmu alam seperti fisika, kimia,
dan biologi membuktikan bahwa fenomena alam dapat dijelaskan secara rasional
melalui pengamatan dan percobaan, tanpa harus bergantung pada penafsiran
metafisis atau keyakinan religius. Dalam konteks inilah Auguste Comte, seorang
filsuf asal Prancis, merumuskan gagasannya tentang positivisme[4].
Ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan sejati harus bersumber pada data empiris
yang dapat diamati langsung dengan pancaindra, diukur secara objektif, serta
dibuktikan melalui pengalaman. Dengan cara itu, ilmu dapat mencapai kepastian
dan terhindar dari spekulasi yang tidak dapat diuji kebenarannya.
Lebih jauh,
Comte memperkenalkan hukum tiga tahap perkembangan berpikir manusia, yaitu
tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif. Pada tahap teologis,
manusia menjelaskan segala peristiwa dengan mengaitkannya pada kekuatan
adikodrati. Pada tahap metafisis, penjelasan didasarkan pada konsep-konsep
abstrak yang masih bersifat spekulatif. Sedangkan pada tahap positif, manusia
meninggalkan penafsiran supranatural maupun spekulatif, dan mulai menggunakan
metode ilmiah untuk mencari hukum-hukum yang mengatur gejala alam maupun
kehidupan sosial. Menurut Comte, tahap positif adalah puncak kematangan akal
manusia karena di sinilah pengetahuan diperoleh secara sistematis, objektif,
dan dapat dipertanggungjawabkan.[5]
Positivisme
kemudian menjadi salah satu aliran yang sangat berpengaruh dalam filsafat ilmu.
Aliran ini berhasil memberikan fondasi penting bagi cara pandang modern tentang
ilmu pengetahuan, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui metode
ilmiah yang teruji. Selain itu, positivisme juga mendorong agar ilmu sosial
dipelajari dengan pendekatan yang sama seperti ilmu alam, yakni berdasarkan
data empiris dan hukum universal. Dengan demikian, lahirnya positivisme tidak
hanya menjadi tonggak dalam perkembangan filsafat ilmu, tetapi juga mengubah
cara manusia memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.
B. Prinsip-prinsip utama yang menjadi dasar
pemikiran positivisme
Pokok
ajaran positivisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan yang benar hanya
dapat diperoleh melalui pengalaman empiris yang dapat diamati dan dibuktikan
secara nyata. Aliran ini menolak segala bentuk spekulasi metafisis atau gagasan
abstrak yang tidak bisa diverifikasi. Tujuan utama ilmu, menurut positivisme,
adalah menemukan hukum-hukum umum yang mengatur berbagai gejala, baik di alam
maupun dalam masyarakat, dengan menggunakan metode ilmiah yang sistematis[6].
Karena itu, langkah-langkah penelitian seperti
observasi, klasifikasi, hingga generalisasi dianggap penting agar pengetahuan
yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh lagi, positivisme
memandang bahwa fenomena sosial pun harus dipelajari dengan cara yang sama
seperti fenomena alam, sebab keduanya diyakini tunduk pada hukum tertentu.
Prinsip-prinsip inilah yang menjadikan positivisme sebagai landasan penting
dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, meskipun pada akhirnya juga
memunculkan berbagai kritik.
C.
Positivisme sebagai aliran filsafat ilmu
sejak abad
ke-19, terutama dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte dan kemudian dianut
oleh lingkaran Wina, mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan. Positivisme
berangkat dari asumsi bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui
pengalaman empiris yang dapat diverifikasi secara inderawi. Dari sisi
epistemologi, klaim ini dianggap terlalu menyempitkan cakupan pengetahuan
manusia. Dengan menekankan bahwa hanya pengetahuan yang bisa diuji secara
empiris yang sah, positivisme mereduksi kompleksitas pengetahuan dan
menyingkirkan bidang-bidang penting seperti metafisika, etika, dan estetika
sebagai sesuatu yang “tidak bermakna”. Padahal, sejarah perkembangan ilmu
menunjukkan bahwa banyak teori ilmiah awalnya bersifat hipotesis dan baru
kemudian dapat dibuktikan secara empiris, misalnya teori tentang atom atau
medan elektromagnetik.
Kritik juga
datang dari masalah induksi sebagaimana dipersoalkan Hume dan Popper Induksi
tidak menjamin kebenaran universal karena kesimpulan dari pengalaman terbatas
tidak serta-merta berlaku untuk semua kasus. Popper bahkan menolak verifikasi
sebagai kriteria utama, lalu menggantinya dengan falsifikasi, yakni pengujian
teori melalui upaya pembantahan. Selain itu, Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend
menggarisbawahi bahwa fakta ilmiah tidak netral sebagaimana diklaim
positivisme, melainkan selalu diwarnai oleh paradigma dan kerangka teori yang
digunakan para ilmuwan. Dengan demikian, pengetahuan tidak bisa dipandang
sebagai cerminan murni dari kenyataan objektif.[7]
Dari sisi
metodologi, positivisme mendapat kritik karena menganggap metode ilmiah
bersifat universal, objektif, dan berlaku sama untuk semua bidang, termasuk
ilmu sosial. Kritik tajam datang dari tokoh-tokoh seperti Wilhelm Dilthey dan
Max Weber yang menegaskan bahwa ilmu sosial memiliki karakteristik berbeda
dengan ilmu alam[8].
Fenomena sosial tidak dapat dijelaskan semata-mata secara kausal, tetapi harus
dipahami melalui makna, kesadaran, dan tujuan yang ada dalam tindakan manusia.
Pendekatan verstehen (pemahaman) diperlukan untuk melengkapi metode penjelasan
kausal yang terlalu sempit[9].
Lebih jauh, Kuhn menolak pandangan bahwa ilmu berkembang secara linear melalui
akumulasi fakta.
Menurutnya,
perkembangan ilmu justru berlangsung melalui revolusi paradigma, yaitu
pergeseran besar dalam kerangka berpikir yang mendasari penelitian. Feyerabend
bahkan menentang ide bahwa ada satu metode ilmiah yang tunggal dan universal.
Baginya, sejarah ilmu membuktikan bahwa metode yang dianggap tidak ortodoks
justru sering melahirkan kemajuan penting, sehingga ia berani menyatakan
prinsip “anything goes”[10].
Di samping itu, positivisme juga dikritik karena klaimnya tentang objektivitas
penuh dalam penelitian. Habermas, misalnya, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan
selalu berhubungan dengan kepentingan dan nilai tertentu, baik dalam pemilihan
objek penelitian maupun dalam interpretasi hasil, sehingga tidak ada penelitian
yang sepenuhnya netral.
Pada aspek ontologis, positivisme memandang realitas sebagai himpunan fakta objektif yang dapat diamati secara netral[11]. Pandangan ini dikritik karena dianggap naif dan menyederhanakan kenyataan yang lebih kompleks. Dalam ilmu sosial, fenomena tidak bisa direduksi menjadi fakta empiris belaka, karena sarat dengan makna, simbol, dan interaksi yang tidak selalu kasat mata. Aliran konstruktivisme kemudian menunjukkan bahwa realitas ilmiah tidak semata-mata “ditemukan”, tetapi juga “dibangun” melalui bahasa, paradigma, dan praktik sosial para ilmuwan.[12]
Selain itu, positivisme cenderung mengabaikan eksistensi entitas yang tidak bisa diamati langsung. Padahal, dalam sains modern banyak konsep seperti quark, medan gravitasi, atau gelombang elektromagnetik yang pada awalnya tidak teramati, tetapi diakui keberadaannya secara teoritis sebelum kemudian dapat dibuktikan. Pandangan ini menunjukkan bahwa ontologi positivis terlalu sempit dan tidak memadai untuk menjelaskan cara kerja ilmu kontemporer. Lebih jauh, pemisahan kaku antara fakta dan nilai juga dipersoalkan. Dalam kenyataan, fakta tidak pernah sepenuhnya terlepas dari nilai, apalagi dalam konteks ilmu sosial dan humaniora, di mana interpretasi terhadap fakta sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan perspektif tertentu.[13]
Secara
keseluruhan, kritik terhadap positivisme mengungkap keterbatasan pandangannya
yang terlalu menekankan empirisme, metode tunggal, serta keyakinan akan
objektivitas absolut. Filsuf-filsuf setelah era positivisme, seperti Popper,
Kuhn, Feyerabend, hingga Habermas, memperluas horizon filsafat ilmu dengan
menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat fallibilis, kontekstual,
historis, dan sarat nilai. Dari sini, lahirlah beragam pendekatan baru dalam
filsafat ilmu yang lebih terbuka terhadap pluralitas metode, keberagaman
perspektif, serta keterkaitan antara ilmu, masyarakat, dan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan kata lain, kritik terhadap positivisme justru menjadi
pendorong penting dalam perkembangan filsafat ilmu modern.
D.
Implikasi dari kritik tersebut terhadap
perkembangan filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan pada masa kini
Kritik terhadap positivisme membawa dampak yang luas bagi perkembangan filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan pada masa kini. Dalam ranah filsafat ilmu, kritik tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang sepenuhnya netral, pasti, dan bebas nilai sebagaimana diasumsikan oleh kaum positivis. Pemikiran Popper tentang falsifikasi, misalnya, menggeser orientasi dari verifikasi mutlak menuju pandangan bahwa teori ilmiah selalu bersifat sementara dan terbuka untuk dibantah oleh data baru[14]. Kuhn menambahkan bahwa perkembangan ilmu bukanlah proses linear yang hanya menumpuk fakta, melainkan berlangsung melalui pergeseran paradigma yang bersifat historis dan kontekstual[15]. Feyerabend kemudian menekankan pentingnya pluralisme metodologis dan menolak adanya metode tunggal yang mengikat semua cabang ilmu[16], sementara Habermas menunjukkan keterkaitan erat antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan tertentu, sehingga refleksi kritis terhadap nilai dan tujuan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam filsafat ilmu. Dengan demikian, filsafat ilmu kontemporer lebih menekankan sifat korektif, terbuka, serta peka terhadap dimensi historis dan normatif dari pengetahuan ilmiah.
Dalam
praktik ilmu pengetahuan, implikasi dari kritik terhadap positivisme juga
sangat signifikan. Ilmu sosial tidak lagi dipaksa meniru pola ilmu alam yang
hanya menekankan kausalitas, melainkan mengembangkan pendekatan kualitatif,
hermeneutik, dan interpretatif yang lebih sesuai untuk memahami makna serta
pengalaman manusia. Ilmu alam sendiri pun semakin menyadari keterbatasan
empirisisme sempit, karena banyak entitas yang pada awalnya tidak bisa diamati
langsung—seperti quark atau energi gelap—tetap menjadi bagian penting dari
konstruksi teori ilmiah.
BAB III
PENUTUP
A.
KRITIK
Positivisme
yang dipelopori Auguste Comte menekankan bahwa pengetahuan sahih hanya bisa
diperoleh melalui metode ilmiah yang berbasis observasi dan pengalaman empiris.
Namun, pandangan ini menuai banyak kritik. Positivisme dianggap reduksionis
karena mereduksi realitas hanya pada aspek yang dapat diukur secara empiris,
sehingga mengabaikan dimensi subjektif, nilai, dan makna manusia. Selain itu,
klaimnya tentang netralitas ilmu juga dipersoalkan, sebab dalam praktiknya ilmu
sering terkait dengan kepentingan sosial, politik, maupun ekonomi. Dalam ilmu
sosial, pendekatan positivistik dianggap kurang memadai karena manusia bukan
sekadar objek pasif, melainkan subjek yang memiliki kesadaran dan kebebasan.
Kritik lain juga diarahkan pada fondasi induktifnya, sebab generalisasi dari
pengalaman terbatas tidak menjamin kebenaran universal.
Dalam
filsafat ilmu, berbagai pemikir memberikan koreksi terhadap kelemahan
positivisme. Karl Popper menolak prinsip verifikasi dan menggantinya dengan
falsifikasi, di mana teori ilmiah diuji bukan untuk membuktikan kebenarannya,
tetapi untuk melihat apakah bisa digugurkan. Thomas Kuhn menunjukkan bahwa
perkembangan ilmu tidak berlangsung secara linear, melainkan melalui pergantian
paradigma yang juga dipengaruhi faktor historis dan sosial. Paul Feyerabend
lebih radikal lagi dengan menolak adanya metode ilmiah tunggal, sehingga
menurutnya tidak ada keistimewaan ilmu dibanding bentuk pengetahuan lain
seperti seni atau mitos. Sementara itu, Habermas dan Mazhab Frankfurt menyoroti
aspek ideologis ilmu pengetahuan, di mana ilmu sering dijadikan alat kepentingan
sehingga perlu diarahkan pada fungsi emansipatoris. Pemikir postmodern pun
menolak klaim kebenaran universal dan objektif, dengan menekankan bahwa
pengetahuan pada dasarnya adalah konstruksi sosial yang beragam.
Dengan
demikian, kritik terhadap positivisme dan filsafat ilmu secara umum berpusat
pada kelemahannya yang terlalu mengedepankan objektivitas empiris, sehingga
mengabaikan dimensi historis, normatif, sosial, dan subjektif dari ilmu itu
sendiri.
B.
SARAN
Karena
positivisme sering dianggap bersifat reduksionis, mekanis, dan mengesampingkan
aspek nilai, maka diperlukan pendekatan ilmu yang lebih menyeluruh. Positivisme
tetap berguna dalam menghasilkan pengetahuan empiris yang sistematis, tetapi
akan lebih baik jika diperkaya dengan pendekatan lain, seperti hermeneutika,
kritisisme, maupun fenomenologi, agar dimensi kesadaran, makna, dan nilai
manusia tetap terakomodasi. Dengan demikian, ilmu tidak berhenti pada deskripsi
tentang kenyataan apa adanya, tetapi juga dapat memberikan arahan normatif
mengenai apa yang seharusnya.
Adapun
berbagai kritik filsafat ilmu dari tokoh-tokoh seperti Popper, Kuhn,
Feyerabend, hingga pemikir kritis dan postmodern, menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan tidak sepenuhnya netral atau objektif, melainkan dipengaruhi oleh
konteks sosial, sejarah, dan ideologi. Oleh karena itu, praktik ilmiah
sebaiknya lebih reflektif, terbuka, dan peka terhadap konteks, agar tidak
terjebak pada klaim kebenaran tunggal yang menyingkirkan perspektif lain. Pada
akhirnya, ilmu pengetahuan tidak hanya diarahkan untuk mengendalikan realitas,
tetapi juga harus berfungsi membebaskan dan memberdayakan manusia, dengan
mengintegrasikan aspek empiris, etis, dan humanis dalam setiap pengembangannya
DAFTAR PUSTAKA
Ajrina, Alya, Alya Nurul Latifah, Annisa Nur
Ramadha, et al. HUBUNGAN PENGETAHUAN ALAM MENGENAI MATERI ATOM DENGAN ILMU
AL-QUR’AN. 1 (2023).
Dochmie,
Mohammad Rivaldi. Keilmiahan Ilmu-ilmu Islam Ditinjau dari Prinsip
Falsifikasi Karl Popper. n.d.
“Ekonomi
Islam Studi Pemikiran Paul Karl Feyerabend Tentang Anarkhi Epistemologis |
TRIPUTRA : Sosial, Ekonomi Dan Hukum.” Accessed September 29, 2025.
https://journal.nacreva.com/index.php/triputra/article/view/92.
“El
Paradigma Científico y Su Fundamento En La Obra de Thomas Kuhn.” Accessed
September 29, 2025.
https://ve.scielo.org/scielo.php?pid=S1315-94962009000200006&script=sci_arttext.
“Filsafat
Pengetahuan & Metodologi Ilmiah - Repository Antispublisher.” Accessed
September 29, 2025. https://repository.antispublisher.my.id/id/eprint/14/.
“Keilmiahan
Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper | Prosiding
Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan Sains.” Accessed September 29,
2025. http://sunankalijaga.org/prosiding/index.php/kiiis/article/view/23.
“Kritik
Terhadap Positivisme Dalam Filsafat Ilmu Pemikiran Rekonstruktif Terhadap
Metode Penelitian | Literacy Notes.” Accessed September 29, 2025.
http://liternote.com/index.php/ln/article/view/28.
Nugroho,
Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (2016): 167–77.
https://doi.org/10.31603/cakrawala.v11i2.192.
“Paradigma
Penelitian Fenomenologi Verstehen (Konsep Dan Implimentasinya) - Dr. Saeful
Kurniawan, M.Pd, I - Google Buku.” Accessed September 29, 2025.
“Pengantar
Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen Habermas - Muhamad Supraja - Google Buku.”
Accessed September 29, 2025.
Putri,
Elvira Linanda, Yeni Karneli, and Sufyarma Marsidin. “Paradigma dan Revolusi
Ilmiah: Analisis Pandangan Thomas Kuhn.” Jurnal Filsafat 30 (2024).
Putri,
Fia Alifah. PARADIGMA THOMAS KUHN: REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN.
no. 2 (2020).
Sudibyo,
Priyo. FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE. n.d.
Wahyudi,
Mohamad Nur. “Epistemologi Islam di Era Modern: Studi Analisis Pemikiran
Feyerabend tentang Anarkisme Epistemologi.” Alhamra Jurnal Studi Islam
2, no. 2 (2021): 134. https://doi.org/10.30595/ajsi.v2i2.11791.
[1] Sudibyo, FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE.
[2] Dochmie, Keilmiahan Ilmu-ilmu Islam Ditinjau
dari Prinsip Falsifikasi Karl Popper.
[3] Putri et al., “Paradigma dan Revolusi Ilmiah:
Analisis Pandangan Thomas Kuhn.”
[4] Sudibyo, FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE.
[5] Sudibyo, FILSAFAT POSITIVISME AUGUSTE COMTE.
[6] Nugroho, “Positivisme Auguste Comte.”
[7] Putri, PARADIGMA THOMAS KUHN: REVOLUSI ILMU
PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN; Putri et al., “Paradigma dan Revolusi Ilmiah:
Analisis Pandangan Thomas Kuhn.”
[8] “Pengantar Metodologi Ilmu Sosial Kritis Jurgen
Habermas - Muhamad Supraja - Google Buku.”
[9] “Paradigma Penelitian Fenomenologi Verstehen
(Konsep Dan Implimentasinya) - Dr. Saeful Kurniawan, M.Pd, I - Google Buku.”
[10] Wahyudi, “Epistemologi Islam di Era Modern.”
[11] “Kritik Terhadap Positivisme Dalam Filsafat Ilmu
Pemikiran Rekonstruktif Terhadap Metode Penelitian | Literacy Notes.”
[12] “Filsafat Pengetahuan & Metodologi Ilmiah -
Repository Antispublisher.”
[13] Ajrina et al., HUBUNGAN PENGETAHUAN ALAM
MENGENAI MATERI ATOM DENGAN ILMU AL-QUR’AN.
[14] “Keilmiahan Ilmu-Ilmu Islam Ditinjau Dari Prinsip
Falsifikasi Karl Popper | Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam Dan
Sains.”
[15] “El Paradigma Científico y Su Fundamento En La
Obra de Thomas Kuhn.”
[16] “Ekonomi Islam Studi Pemikiran Paul Karl
Feyerabend Tentang Anarkhi Epistemologis | TRIPUTRA : Sosial, Ekonomi Dan
Hukum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar