- A. Latar Belakang
Filsafat politik lahir dari filsafat praktis dan telah ada sejak
zaman Yunani Kuno. Sehingga filsafat politik dan filsafat umum tampak
saling keterikatan. Ada pengertian lain yang lebih fundamental tentang
keterkaitan yang erat antara filsafat politik dengan filsafat pada
umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha mengejar kebenaran hingga ke
akar-akarnya, meskipun kualitas esensial tentang apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di kalangan para ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter)
filsafat politik mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya
dengan apa yang dianggap ”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena
filsafat digambarkan sebagai usaha sistematis untuk memahami prinsip
yang mendasari semua hal, penyelidikan tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap harus membentuk bagian dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1).
Karena itu, filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf
dalam memberikan panduan dan jawaban untuk menanggapi masalah yang
menjadi perhatian masyarakat secara keseluruhan, yaitu masalah publik
atau politik. Filsafat politik sudah terpikirkan sejak era Yunani kuno.
Hingga sekarang filsafat politik terus mengalami perkembangan. Filsafat
politik di dalam perjalanannya semenjak era Yunani Kuno, kemudian
melewati abad pertengahan, abad renaisans, abad pencerahan, abad modern
hingga dewasa ini memunculkan berbagai karya dan pemikiran besar dari
para ahli.
Salah satu filsuf yang mencuat pada era pencerahan yaitu John Locke
(1632) yang terkenal dengan sumbangan karyanya tentang pandangan
terhadap negara. Karya pemikirannya terhimpun dalam sebuah buku yang
berjudul Two Treatises of Civil Government.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Biografi John Locke
John Locke (lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober1704 pada
umur 72 tahun) adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah
satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Empirisme adalah suatu
aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal
dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan .
Bagi locke, mula-mula rasio manusia harus dianggapsebagai lembaran
kertas putih (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari
pengalaman. Pengalaman tersenut ada dua: pengalaman lahiriah (sensation)
dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini
menghasilkan ide-ide tunggal.[1]
Di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf
negara liberal. Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang
sebagai salah satu figur terpenting di era Pencerahan. Selain itu, Locke
menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes
(post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi
satu-satunya pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu
itu. Kemudian Locke juga menekankan pentingnya pendekatan empiris dan
juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Pada tahun 1647, Locke belajar di Sekolah Westminster, yang pada
waktu itu merupakan sekolah terkenal di Inggris. Pendidikan di sana
berpusat pada pelajaran bahasa-bahasa kuno, yaitu pertama-tama bahasa
Latin, kemudian bahasa Yunani, dan juga bahasa Ibrani. Setelah itu, pada
tahun 1652, Locke mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di
Sekolah Gereja Kristus (Christ Church), Oxford, dan tinggal di sana sejak bulan Mei 1652.[2]
Di sekolah itu, Locke kurang menyukai metode skolastik dalam berdebat
dan juga tema-tema metafisika dan logika. Karena itu, Locke tidak
mendapatkan nilai yang mengesankan ketika ia mendapatkan gelar hingga
strata dua. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca
karya-karya sastra, seperti drama, roman, dan sebagainya. Setelah itu,
Locke mulai menyenangi bidang medis, sebagaimana tertulis di dalam
beberapa catatan pribadi Locke yang ditulis pada periode akhir dekade
1650-an. Ia membuat banyak catatan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan kesehatan dan pengobatan.
Melalui minatnya dalam bidang medis, Locke mulai meminati filsafat
alam sejak tahun 1658. Pada awal tahun 1660, ia berjumpa dengan Robert
Boyle yang akan banyak memengaruhinya kelak. Sejak tahun 1660, Locke
menambah minatnya dengan membaca filsafat mekanis yang baru muncul, yang
dimulai dengan membaca karya Boyle. Selain itu, ia juga mulai rajin
membaca karya-karya Descartes.
Perhatian Locke terhadap politik muncul ketika pada waktu itu adanya
situasi politik di Inggris yang sedang bergejolak. Cromwell, yang pada
waktu itu telah mengubah sistem politik Inggris, meninggal pada tahun
1658 sehingga terjadi perubahan lagi di bawah pemerintahan Raja Charles
II yang menghendaki pemerintahan dengan kuat menguasai negara dan gereja
Inggris, Locke pada waktu itu mendukung pemerintahan Charles II. Pada
bulan November hingga Desember 1660, ia membuat suatu karangan singkat
untuk menanggapi pandangan Edward Bagshaw, yang menegaskan perlunya
hakim sipil dalam menentukan bentuk-bentuk ibadah keagamaan.
- B. Two Treatises of Civil Government
Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul (Two Treatises of Civil Government).
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik
Inggris dan Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki
absolut. Dalam konteks sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki
absolut itu merupakan jawaban terhadap kekacauan sosial politik akibat
perang saudara dan perang-perang agama yang terjadi pada saat itu.
Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja
bersifat ilahiah dan karena itu suci. Tuhanlah yang telah
menganugerahkan kekuasaan itu kepada seorang raja. Kepercayaan ini
kemudian terkenal dengan sebutan hak-hak ketuhanan raja. [3]
Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut
merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam
karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi
otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan
copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan
cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.
Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki
absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut
bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya. Civil
society yaitu bentuk masyarakat yang merupakan gugatan terhadap
institusi superiort yang semula diciptakan untuk mengatasi supremasi
naturalistik, membatasi wilayah dan ruang geraknya.[4] Dari sinilah
sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer,
penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang
dituangkan dalam karyanya Patriarcha.
Two Treatises dibagi menjadi First Treatise dan Second Treatise. The First Treatise difokuskan pada sanggahan dari Sir Robert Filmer , khususnya Patriarcha, yang berpendapat bahwa masyarakat sipil didirikan pada hak-hak ketuhanan raja. Second Treatise menguraikan teori masyarakat sipil.
John Locke dimulai dengan menggambarkan keadaan alam , gambar jauh
lebih stabil dari Thozas Hobbes negara “perang bagi setiap orang melawan
setiap orang,” dan berpendapat bahwa semua manusia diciptakan sama
dalam keadaan alam oleh Tuhan. Dari ini, ia melanjutkan dengan
menjelaskan kenaikan hipotetis properti dan peradaban, dalam proses
menjelaskan bahwa satu-satunya pemerintah yang sah adalah mereka yang
memiliki persetujuan rakyat. Oleh karena itu, setiap pemerintah bahwa
aturan-aturan tanpa persetujuan dari orang dapat secara teori
digulingkan.[5] Sehingga dalam Second Treatise Locke
mengembangkan sejumlah tema penting yaitu: keadaan alamiah , dimana
individu tidak berkewajiban untuk mematuhi satu sama lain, penaklukan
dan perbudakan, properti, pemerintahan perwakilan, dan hak revolusi.
Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).
- The State of Nature
Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan masyarakat.
Konsep Locke ini serupa dengan pemikiran Hobbes namun bila Hobbes
menyatakan keadaan alamiah sebagai keadaan “perang semua lawan semua”,
maka Locke berbeda. Menurut Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat
manusia adalah situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki
kebebasan dan kesamaan hak yang sama.[6]
Dalam keadaan tersebut, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan
menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang
lain. Meskipun masing-masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak
terjadi kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan
ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan. Yang dimaksud hukum
kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan
memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Dengan
demikian, Locke menyebut ada hak-hak dasariah yang terikat di dalam
kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Tuhan. Konsep ini serupa
dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam masyarakat modern.
Bagi Locke, untuk memahami benar kekuatan politik dan melacak
asal-usulnya, kita harus mempertimbangkan keadaan bahwa semua orang
adalah di alam. Itu adalah keadaan sempurna kebebasan bertindak dan
membuang harta mereka sendiri dan orang-orang yang mereka anggap baik
dalam batas-batas hukum alam. Orang-orang di negara ini tidak perlu
meminta izin untuk bertindak atau tergantung pada kehendak orang lain
untuk mengatur hal-hal atas nama negara. Keadaan alamiah juga merupakan
salah satu persamaan di mana semua kekuasaan dan yurisdiksi timbal balik
dan tidak ada yang memiliki lebih dari yang lain. Ini adalah bukti
bahwa semua manusia sebagai makhluk memiliki spesies yang sama dan
peringkat dan lahir tanpa pandang bulu dengan semua keunggulan alamiah
yang sama.
- Penaklukan dan Perbudakan
Dalam retorika abad ke-17 Inggris , mereka yang menentang peningkatan
daya raja-raja mengklaim bahwa negara itu menuju suatu kondisi
perbudakan. Oleh karena itu Locke bertanya, dalam kondisi apa perbudakan
seperti itu mungkin dibenarkan. Dia mencatat bahwa perbudakan tidak
sesuai dengan prinsip civil society (yang menjadi dasar sistem politik
Locke). Locke berpendapat bahwa agresor dalam perang yang tidak adil
tidak bisa mengklaim hak penaklukan sehingga sebuah perampasan kuno
tidak menjadi halal.
- Properti
Dalam Second Treatise, Locke mengklaim bahwa masyarakat
sipil diciptakan untuk perlindungan properti . Dengan mengatakan ini, ia
mengandalkan akar etimologis “properti,” Latin adalah proprius, atau apa seseorang sendiri, termasuk diri sendiri (lih. Perancis propre).
Jadi, dengan “properti” ia berarti “kehidupan, kebebasan, dan real.”
Dia mulai dengan menegaskan bahwa setiap individu minimal, “memiliki”
sendiri, ini adalah akibat wajar dari masing-masing individu yang bebas
dan sama dalam kondisi alamiah. Seorang pria harus diperbolehkan untuk
makan, dan dengan demikian memiliki apa yang telah dimakan menjadi
miliknya sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan Filmer yang
mengatakan bahwa, jika ada bahkan adalah keadaan alamiah semuanya akan
dimiliki bersama: tidak mungkin ada milik pribadi, dan karenanya tidak
ada keadilan atau ketidakadilan.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan
untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk
menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang
tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik
pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang
dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga
kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties).
- Pemrintahan Perwakilan
Locke tidak menuntut republik. Sebaliknya, Locke merasa bahwa kontrak
yang sah dengan mudah bisa ada di antara warga negara dan monarki,
oligarki atau beberapa bentuk campuran. Ide-idenya sangat dipengaruhi
baik Revolusi Amerika dan Perancis. Gagasan hak-hak rakyat dan peran
pemerintah sipil memberikan dukungan kuat bagi gerakan intelektual dari
kedua revolusi.
- Hak Revolusi
Konsep hak revolusi itu juga diambil oleh John Locke di Two Treatises
Pemerintah sebagai bagian dari teori kontrak sosialnya. Locke
menyatakan bahwa menurut hukum alam, semua orang memiliki hak untuk
hidup, kebebasan, dan real; di bawah kontrak sosial, orang bisa
mengobarkan revolusi melawan pemerintah ketika itu bertindak demi
memperjuangkan kepentingan warga, untuk mengganti pemerintah dengan yang
mampu melayani kepentingan warga.
- The State of War
Tahap kedua adalah keadaan perang. Locke menyebutkan bahwa ketika
keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi
harmoni mulai berubah. Penyebab utamanya adalah terciptanya uang.
Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan,
sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang
mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi
masing-masing. Ketidaksamaan harta kekayaan membuat manusia mengenal
status tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status yang hierarkis
lainnya.
Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling
bermusuhan, dan bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan
mempertahankan miliknya sendiri. Keadaan alamiah yang harmonis dan penuh
damai tersebut kemudian berubah menjadi keadaan perang yang ditandai
dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan.
Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak
ada jalan keluar dari keadaan perang.
- Commonwealth
Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan
perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk
mengadakan “perjanjian asal”. Maka dalam perjanjian masyarakat Locke
terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk
negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).
Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk
negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic,
yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah
membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk
mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari
hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis
(perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak
asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara. Oleh karena itu,
kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan
hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara
meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan
itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk
memelihara lahir batin kepentingan masyarakat.[7]
Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth).
Dengan demikian, tujuan berdirinya negara bukanlah untuk menciptakan
kesamarataan setiap orang, melainkan untuk menjamin dan melindungi milik
pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan
penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada negara. Kedua
kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia
mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum
kodrat yang berasal dari Tuhan. Ajaran Locke ini menimbulkan dua
konsekuensi:
- Kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan tidak mutlak
sebab kekuasaannya berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya.
Jadi, negara hanya dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan
masyarakat terhadapnya.
- Tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga,
terutama hak warga atas harta miliknya. Untuk tujuan inilah, warga
bersedia melepaskan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang diancam
bahaya perang untuk bersatu di dalam negara.
Setting kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya suatu negara
substansi utamanya yaitu adanya keadaan yang tidak nyaman menuju ke
keadaan yang lebih nyaman dan lebih baik dari debelumnya. Sehingga tugas
dan kewajiban pemerintahan negara adalah menghidupkan kesejahteraan
rakyat.[8]
- C. Pembatasan Kekuasan Negara
Menurut Locke ada dua cara untuk membatasi kekuasan negara, yaitu
- Konstitusi
Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan
civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam
membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini
mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan prinsipil
terhadap kekuasaan negara. Dalam membahas konstitusionalisme, yang
terpenting adalah usaha mempertahankan hak-hak individu untuk
terus-menerus menumpuk kekayaan pribadi sejauh tidak merampas hak-hak
serupa orang lain.
Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha
perlindungan terhadap hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan
(penindasan) negara. Terlepas dari perbedaan penafsiran paham
konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan dirinya sebagai
pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada
dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk
membatasi kesewenang-wenangan negara.[9] Konstitusi memiliki tujuan
merumuskan cara-cara untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik
untuk menjamin hak-hak asasi rakyat.[10]
Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam
suatu negara, karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan
kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional
ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.
- Pemisahan Kekuasaan
Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter juga bisa
dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara
harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu
tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara
memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan
kekuasaan federatif (federative power).
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif
adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan
hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan
federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar
negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi
antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik
mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang
menyelenggarakannya. Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak
boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah
konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal
ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.
Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada
siapa pun atau lembaga manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan
legislatif adalah menifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada
negara. Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat
mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak
boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen.
Hal ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi
daripada kekuasaan eksekutif.
- D. Hubungan Negara dan Agama
Pandangan Locke lain yang penting dan masih berhubungan dengan konsep
negara adalah mengenai hubungan antara agama dan negara. Pemikiran
Locke mengenai hal ini terdapat di dalam tulisannya yang berjudul
‘Surat-Surat Mengenai Toleransi’ (Letters of Toleration). Locke
menyatakan bahwa perlu ada pemisahan tegas antara urusan agama dan
urusan negara sebab tujuan masing-masing sudah berbeda. Negara tidak
boleh menganut agama apapun, apalagi jika membatasi atau meniadakan
suatu agama.
Tujuan negara adalah melindungi hak-hak dasar warganya di dunia ini
sedangkan tujuan agama adalah mengusahakan keselamatan jiwa manusia
untuk kehidupan abadi di akhirat kelak setelah kematian. Jadi, negara
berfungsi untuk memelihara kehidupan di dunia sekarang, sedangkan agama
berfungsi untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan dan mencapai kehidupan
kekal. Agama adalah urusan pribadi, berbeda dengan negara yang merupakan
urusan masyarakat umum.
Pemisahan antara keduanya haruslah ditegaskan, dan masing-masing
tidak boleh mencampuri urusan yang lain. Negara tidak boleh mencampuri
urusan keyakinan religius manusia, sedangkan agama tidak boleh melakukan
sesuatu yang dapat menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan tujuan
negara. Bila negara hendak menghalangi kebebasan beragama dari warganya,
maka rakyat berhak untuk melawan.
[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hal 271
[2] id.wikipedia.org/wiki/john-locke/biografi/
[3] Tulisan pemikiran A. Ahsin Tohari untuk tugas Mata Kuliah Teori Hukum dan Demokrasi
[4] Muhadjir effendy. 2002. masyarakat equilibrium. Jogjakarta: Bentang Budaya hal 6
[5] tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2008/06/tokoh-filsafat-politik-barat/john-locke.html
[6] politicalphlosopy.info/stateofnature.html&usg=AlKjrhhGcz14fHplFDKl_04bVreKoA
[7] Azhary, Sejarah Type Pokok Negara, (Jakarta: Permata Publishing Company, 1979), hal. 5.
[8] Tumar Sumihardjo. 2008. Penyelenggaraan Pemda Melalui Daya Saing
Berbasis Potensi Daerah. Bandung: Pusat Studi Pemerintahan Daerah hal 20
[9] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII, (Jakarta:Gramedia, 1996), hal. 58
[10] Dr. Tufiqurrohman Syahuri. 2004. Hukum Konstitusi. Bogor:Ghalia Indonesia hal17
Komentar
Posting Komentar