PEMIKIRAN POLITIK KUNO
- A. Latar Belakang
Karena itu, filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Filsafat politik sudah terpikirkan sejak era Yunani kuno. Hingga sekarang filsafat politik terus mengalami perkembangan. Filsafat politik di dalam perjalanannya semenjak era Yunani Kuno, kemudian melewati abad pertengahan, abad renaisans, abad pencerahan, abad modern hingga dewasa ini memunculkan berbagai karya dan pemikiran besar dari para ahli.
Salah satu filsuf yang mencuat pada era pencerahan yaitu John Locke (1632) yang terkenal dengan sumbangan karyanya tentang pandangan terhadap negara. Karya pemikirannya terhimpun dalam sebuah buku yang berjudul Two Treatises of Civil Government.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Biografi John Locke
Bagi locke, mula-mula rasio manusia harus dianggapsebagai lembaran kertas putih (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Pengalaman tersenut ada dua: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal.[1]
Di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf negara liberal. Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu figur terpenting di era Pencerahan. Selain itu, Locke menandai lahirnya era Modern dan juga era pasca-Descartes (post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu. Kemudian Locke juga menekankan pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1647, Locke belajar di Sekolah Westminster, yang pada waktu itu merupakan sekolah terkenal di Inggris. Pendidikan di sana berpusat pada pelajaran bahasa-bahasa kuno, yaitu pertama-tama bahasa Latin, kemudian bahasa Yunani, dan juga bahasa Ibrani. Setelah itu, pada tahun 1652, Locke mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Sekolah Gereja Kristus (Christ Church), Oxford, dan tinggal di sana sejak bulan Mei 1652.[2]
Di sekolah itu, Locke kurang menyukai metode skolastik dalam berdebat dan juga tema-tema metafisika dan logika. Karena itu, Locke tidak mendapatkan nilai yang mengesankan ketika ia mendapatkan gelar hingga strata dua. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca karya-karya sastra, seperti drama, roman, dan sebagainya. Setelah itu, Locke mulai menyenangi bidang medis, sebagaimana tertulis di dalam beberapa catatan pribadi Locke yang ditulis pada periode akhir dekade 1650-an. Ia membuat banyak catatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan.
Melalui minatnya dalam bidang medis, Locke mulai meminati filsafat alam sejak tahun 1658. Pada awal tahun 1660, ia berjumpa dengan Robert Boyle yang akan banyak memengaruhinya kelak. Sejak tahun 1660, Locke menambah minatnya dengan membaca filsafat mekanis yang baru muncul, yang dimulai dengan membaca karya Boyle. Selain itu, ia juga mulai rajin membaca karya-karya Descartes.
Perhatian Locke terhadap politik muncul ketika pada waktu itu adanya situasi politik di Inggris yang sedang bergejolak. Cromwell, yang pada waktu itu telah mengubah sistem politik Inggris, meninggal pada tahun 1658 sehingga terjadi perubahan lagi di bawah pemerintahan Raja Charles II yang menghendaki pemerintahan dengan kuat menguasai negara dan gereja Inggris, Locke pada waktu itu mendukung pemerintahan Charles II. Pada bulan November hingga Desember 1660, ia membuat suatu karangan singkat untuk menanggapi pandangan Edward Bagshaw, yang menegaskan perlunya hakim sipil dalam menentukan bentuk-bentuk ibadah keagamaan.
- B. Two Treatises of Civil Government
Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.
Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya. Civil society yaitu bentuk masyarakat yang merupakan gugatan terhadap institusi superiort yang semula diciptakan untuk mengatasi supremasi naturalistik, membatasi wilayah dan ruang geraknya.[4] Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.
Two Treatises dibagi menjadi First Treatise dan Second Treatise. The First Treatise difokuskan pada sanggahan dari Sir Robert Filmer , khususnya Patriarcha, yang berpendapat bahwa masyarakat sipil didirikan pada hak-hak ketuhanan raja. Second Treatise menguraikan teori masyarakat sipil.
John Locke dimulai dengan menggambarkan keadaan alam , gambar jauh lebih stabil dari Thozas Hobbes negara “perang bagi setiap orang melawan setiap orang,” dan berpendapat bahwa semua manusia diciptakan sama dalam keadaan alam oleh Tuhan. Dari ini, ia melanjutkan dengan menjelaskan kenaikan hipotetis properti dan peradaban, dalam proses menjelaskan bahwa satu-satunya pemerintah yang sah adalah mereka yang memiliki persetujuan rakyat. Oleh karena itu, setiap pemerintah bahwa aturan-aturan tanpa persetujuan dari orang dapat secara teori digulingkan.[5] Sehingga dalam Second Treatise Locke mengembangkan sejumlah tema penting yaitu: keadaan alamiah , dimana individu tidak berkewajiban untuk mematuhi satu sama lain, penaklukan dan perbudakan, properti, pemerintahan perwakilan, dan hak revolusi.
Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).
- The State of Nature
Dalam keadaan tersebut, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang lain. Meskipun masing-masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan. Yang dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Dengan demikian, Locke menyebut ada hak-hak dasariah yang terikat di dalam kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Tuhan. Konsep ini serupa dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam masyarakat modern.
Bagi Locke, untuk memahami benar kekuatan politik dan melacak asal-usulnya, kita harus mempertimbangkan keadaan bahwa semua orang adalah di alam. Itu adalah keadaan sempurna kebebasan bertindak dan membuang harta mereka sendiri dan orang-orang yang mereka anggap baik dalam batas-batas hukum alam. Orang-orang di negara ini tidak perlu meminta izin untuk bertindak atau tergantung pada kehendak orang lain untuk mengatur hal-hal atas nama negara. Keadaan alamiah juga merupakan salah satu persamaan di mana semua kekuasaan dan yurisdiksi timbal balik dan tidak ada yang memiliki lebih dari yang lain. Ini adalah bukti bahwa semua manusia sebagai makhluk memiliki spesies yang sama dan peringkat dan lahir tanpa pandang bulu dengan semua keunggulan alamiah yang sama.
- Penaklukan dan Perbudakan
- Properti
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties).
- Pemrintahan Perwakilan
- Hak Revolusi
- The State of War
Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri. Keadaan alamiah yang harmonis dan penuh damai tersebut kemudian berubah menjadi keadaan perang yang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan. Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang.
- Commonwealth
Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin kepentingan masyarakat.[7]
Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth). Dengan demikian, tujuan berdirinya negara bukanlah untuk menciptakan kesamarataan setiap orang, melainkan untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada negara. Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan. Ajaran Locke ini menimbulkan dua konsekuensi:
- Kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan tidak mutlak sebab kekuasaannya berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya. Jadi, negara hanya dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan masyarakat terhadapnya.
- Tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga, terutama hak warga atas harta miliknya. Untuk tujuan inilah, warga bersedia melepaskan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang diancam bahaya perang untuk bersatu di dalam negara.
- C. Pembatasan Kekuasan Negara
- Konstitusi
Jadi, konstitusionalisme Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha perlindungan terhadap hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan (penindasan) negara. Terlepas dari perbedaan penafsiran paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini telah menempatkan dirinya sebagai pelopor gagasan negara konstitusional dalam sejarah politik Barat. Pada dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan pada keperluan untuk membatasi kesewenang-wenangan negara.[9] Konstitusi memiliki tujuan merumuskan cara-cara untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan politik untuk menjamin hak-hak asasi rakyat.[10]
Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara.
- Pemisahan Kekuasaan
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.
Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif bersifat mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah digariskan oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.
- D. Hubungan Negara dan Agama
Tujuan negara adalah melindungi hak-hak dasar warganya di dunia ini sedangkan tujuan agama adalah mengusahakan keselamatan jiwa manusia untuk kehidupan abadi di akhirat kelak setelah kematian. Jadi, negara berfungsi untuk memelihara kehidupan di dunia sekarang, sedangkan agama berfungsi untuk menjalankan ibadah kepada Tuhan dan mencapai kehidupan kekal. Agama adalah urusan pribadi, berbeda dengan negara yang merupakan urusan masyarakat umum.
Pemisahan antara keduanya haruslah ditegaskan, dan masing-masing tidak boleh mencampuri urusan yang lain. Negara tidak boleh mencampuri urusan keyakinan religius manusia, sedangkan agama tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan tujuan negara. Bila negara hendak menghalangi kebebasan beragama dari warganya, maka rakyat berhak untuk melawan.
[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hal 271
[2] id.wikipedia.org/wiki/john-locke/biografi/
[3] Tulisan pemikiran A. Ahsin Tohari untuk tugas Mata Kuliah Teori Hukum dan Demokrasi
[4] Muhadjir effendy. 2002. masyarakat equilibrium. Jogjakarta: Bentang Budaya hal 6
[5] tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2008/06/tokoh-filsafat-politik-barat/john-locke.html
[6] politicalphlosopy.info/stateofnature.html&usg=AlKjrhhGcz14fHplFDKl_04bVreKoA
[7] Azhary, Sejarah Type Pokok Negara, (Jakarta: Permata Publishing Company, 1979), hal. 5.
[8] Tumar Sumihardjo. 2008. Penyelenggaraan Pemda Melalui Daya Saing
Berbasis Potensi Daerah. Bandung: Pusat Studi Pemerintahan Daerah hal 20
[9] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII, (Jakarta:Gramedia, 1996), hal. 58
[10] Dr. Tufiqurrohman Syahuri. 2004. Hukum Konstitusi. Bogor:Ghalia Indonesia hal17
Komentar
Posting Komentar